Tenun Lurik Tembus Industri Fashion Dunia



Indrias Sentir



Pada tahun 2013 silam, suara alam memanggilnya berjalan menyusuri desa-desa kecil di daerah Klaten Jawa tengah. 

Gerakan hatinya bergitu kuat mendorong tekadnya melakukan riset penelitian yang dilakukannya sepanjang hari berpanas-panasan mencari para pengrajin lurik tradisional yang sudah sangat langka ditemuinya. 

Bermodal kejelian dan telaten yang dilaluinya, meskipun disetiap desa hanya ada terdapat satu orang pengrajin disepanjang pelosok daerah Klaten, yang tentunya juga cukup luas untuk ditempuhnya seorang diri. 

Serta hampir punah dan hanya menemukan 3 potong kain dalam jangka waktu 3 tahun jenis lurik pelangi bedog, motif paling sulit untuk ditemui saat ini.

Dari sumber-sumber suara para pengrajin tenun luriklah, kain-kain lurik yang diubahnya menjadi trend fashion etnik tersebut ditemuinya. 

Lurik sendiri ,memiliki filosofi tersendiri dimasyarakat Jawa Tengah yang memiliki artian lurus ikhlas ( dalam melakukan sesuatu ). 

Kain Lurik sendiri masih ada karena biasa dipergunakan dalam upacara ritual adat masyarakat jawa seperti acara 7 bulanan sebagai kain pilihan terakhir diantara 7 jenis kain yang digunakan sebagai kemben bagi ibu hamil dan dipercayai sebagai kain untuk tolak bala.

Keputusannya untuk berhenti dari zona nyaman sebagai seorang dosen pengajar ilmu tekhnology pangan di Universitas Slamet Riyadi Surakarta yang telah ditekuninya selama 12 tahun tentunya sangat jauh dari kehidupan yang telah bertahun-tahun digelutinya sepanjang pengalaman hidupnya.

Bermula dari hobby yang ditemunya sejak duduk dibangku menengah pertama dengan gemar menggambar tersebut,terbentuklah karakter yang telah menyatu dengan jiwanya dalam berkreatifitas didalam seni fashion Indonesia sekaligus sebagai pelestari jenis kain langka tersebut dan telah hampir punah ditengah masyarakat Jawa Tengah. 

Pencarian yang dilakukannya saat itupun hanya dapat menemukan 3 orang penenun di desa yang berbeda, dengan kualitas kain yang juga berbeda-beda ditiap pengrajin. 

Menurutnya jenis kain lurik ditiap pengrajin memilliki tekstur kain yang berbeda mengikuti suasana hati pengrajin yang menenun benang-benang menjadi kain lurik dan setiap penenun hanya menenun satu motif saja sedangkan jenis kain lurik ada banyak dikarenakan keterbatasan alat dan kebiasaan serta trampilnya seorang penenun.Sehingga mempengaruhi kualitas tenunan yang dihasilkan.Terlebih warna kain yang sudah jadi. 

Namun disetiap pencariannya tersebut justru semakin membuatnya penasaran untuk terus mencari dengan berjalan-jalan setiap minggu ke desa-desa kecil di Klaten jawa tengah dengan tipikal desa yang dikelilingi oleh luasnya hektaran sawah dan mengapit jalanan berada ditengahnya menjadi pesona perjalanan penelitian serta tantangan tersendiri baginya.

Ibu dua orang putri tersebut,semakin tertantang terlebih kain lurik sejak dari dulu di Jawa Tengah terkenal sebagai jenis kain untuk masyarakat kelas bawah dengan jenis kain yang tekturnya kasar,dengan motif garis-garis, berwarna gelap dan lebih dikenal sebagai kain untuk pergi kesawah,juga sebagai tali untuk menggendong bakul serta gatal dikulit dalam sehari-harinya apabila dikenakan sebagai pakaian atau busana.

Bermula dari sini Indrias Sentir berfikir dengan keras tentang bagaiamana cara mengubah image dari jenis kain yang memang sudah hampir punah tersebut agar kembali diminati oleh masayarakat luas Indonesia agar tetap lestari sebagai peninggalan leluhur yang wajib untuk dijaga serta dilestarikan selama-lamanya.

Berfikir tentang bagaimana caranya agar kain lurik bukan hanya diperuntukkan bagi kelas masyarakat bawah saja namun juga semua orang dapat memulai menyukai terlebih dahulu jenis kain tenun tradisional tersebut. 

Sebagaimana dikenal saat ini, lurik cenderung dijadikan sebagai seragam tukang parkir di solo dan sekitar karena memang lebih umum digunakan serta dikenal oleh kaum kelas bawah sejak dulunya. 

Dengan mengubahnya sebagai baju, motivasi tersebut semakin menuntut kreatifitasnya mengubah kain lurik tidak hilang dari peredaran. 

Sedangkan pada tahun 2013 tersebut lurik kuno belum diketahuinya sama sekali masih ada penenun yang membuatnya.

Lalu terbitlah ide yang dikemasnya kedalam bentuk fashion etnik, komersil sudah tentu namun tetap ideal pada posisi yang dikemasnya dalam bentuk designt mengikuti jaman,cocok untuk semua usia dan sudah menjadi kain yang nyaman untuk dikenakan,tidak luntur,mengkerut atau gatal saat dipakai serta modis. 

Tidak ada usaha yang sia-sia saat karya-karyanya melesat dalam waktu cepat  hingga ke mancanegara yaitu Inggris dengan melakukan fashion show, juga berdatangannya customer dari berbagai penjuru dunia mulai dari Amerika, Skotlandia, Australia, Jepang,Jerman dan berbagai penjuru belahan negara dunia lainnya yang tidak lagi dapat diingatnya satu persatu karena kain lurik memang sangat mudah diterima.

Kain Lurik mulai dikenal dengan cepat saat para fotografer lokal di Solo mengexplore setiap event fashion show yang dibuatnya melalui medai sosial facebook, bermula dengan hunting foto rame-rame dimulai oleh Sri Madi Mursito, akhirnya ,mulai banyak komunitas fotografer di Solo yang juga tertarik untuk melakukan promo serta diikuti pula oleh para pelaku fotografer nasional. 

Seperti Roy Genggam ( Nikon ), Eky Tandyo ( Jakarta ), Darwis Triadi diacara fashion show Festival Payung Indonesia bertempat di Puro Mangkunegaran Solo 2017 ,juga  fashion of etnik bertempat di mall Solo Paragon yang lebih sering dipilihnya sebagai pagelaran fashion tahunan yang dibuatnya sebanyak 3-4x dalam setahun. 

Bahkan sempat dibuatnya pagelaran secara mingguan yaitu Solo fashion week selama satu bulan karena antusias serta minat terhadap kain lurik mendapat respon baik dimasyarakat umum begitu dikenalkan. 

Karyanya juga turut mendukung pagelaran putri Indonesia tahun 2016 silam dibawakan oleh Ade Irma Suryani perwakilan dari Yogyakarta, Juga Dila Putri Pariwisata Indonesia DIY.

Pameran Ina Craf Jakarta 2017.”Setiap baju adalah sebuah rasa.” Tutupnya mengakhiri. sha

 

Comments