Sha Mantha |
Tembakau selalu identik
dan melekat pada image serta industri rokok utamanya di Indonesia, meskipun
pada manfaatnya, tembakau memiliki banyak fungsi penting utamanya pada industri
kosmetik, medis dan bahan utama produk lainnya yang sangat bermanfaat bagi
kehidupan manusia.
Keraton Kartasuro Jawa Tengah era Kerajaan Mataram pada masa kekuasaan Amangkurat I ( 1646-1677 ) yang sudah menikmati rokok tembakau yang dihisap dengan menggunakan pipa ditemani oleh 30 orang pelayan wanitanya.
Hal tersebut menepis anggapan dunia bahwa Belandalah yang pertama kali membawa tembakau di wilayah Nusantara yang pada masa itu belum ditanam dalam jumlah besar dan belum masuk kedalam skala industri.
Serta telah lebih dulu memperkenalkan fungsi dari tembakau itu sendiri sebagai bahan rokok.
Ketika pemerintahan Hindia – Belanda memberlakukan tanam paksa pada tahun 1830, dan melambungkan produksi perkebunan tembakau, kopi, teh, dan kelapa sawit sebagai komoditas-komoditas mereka.
Pemerintah Hindia-Belanda juga membuka kebebasan swastanya untuk ikut menggarap Nusantara melalui aturan “Agrarische Wet”.
Tembakau akhirnya
dipilih sebagai bahan penting untuk merokok yang juga dijadikan
sebagai aktivitas yang cukup populer oleh pejabat Banten Jawa Barat setelah
misi ekpedisi yang dilakukan oleh Cornelis de Houtman, setelah 10 tahun
kedatangannya di Banten pada masa itu, pada tahun 1856.
Yang kemudian berkembang menjadi sebuah industri rokok pada era Nitisemono seorang tokoh pengusaha berpengaruh kelahiran Kudus Jawa Tengah 1874, sekaligus pelopor industri rokok kretek dunia.
Latar belakangnya sebagai seorang pengusaha rokok tidak serta merta menuntun jalannya jatuh pada pilihan usaha bisnis industri dagang rokok, melainkan telah lebih dulu memulai berbagai macam bidang usaha dimasa mudanya.
Pengusaha yang sukses dengan produk rokok kretek klobot jagung, yang berdiri pada tahun 1914 diawal kariernya tersebut, pada mulanya ketika dewasa mengawali usaha sebagai penjahit, pedagang kerbau, dan berdagang minyak kelapa.
Di daerah Kudus Jawa Tengah kota kelahirannya dimana masyarakat luasnya sangat umum menjadikan usaha dagang sebagai mata pencaharian mereka sehari-harinya selain sebagai petani.
Semangat jiwa dagangnya
yang tinggi mengalihkan pilihannya dengan menjual tembakau yang kemudian
mengkolaborasikannya dengan bungkus rokok dari klobot ( kulit jagung kering )
yang dibuat oleh istrinya dan diberinya sebuah merk “Bal tiga”.
Promosi yang dilakukan oleh Nitisemono juga cukup fantastis pada masa itu, dengan memberikan hadiah sebuah sepeda kepada setiap konsumen yang membeli rokok buatannya bersama istrinya tersebut dan diiklankannya secara besar-besaran.
Untuk melakukan promosi bisnisnya tersebut, Nitisemono juga menyewa pesawat Fokker guna melakukan promo ke daerah Bandung Jawa Barat dan Jakarta hingga melambungkan namanya dengan julukan Radja Kretek pada masa itu.
Setelah 10 tahun beroperasi, Nitisemono kemudian membangun pabrik besar diatas lahan seluas 6 hektar di sebuah desa bernama desa Jati.
Sedangkan pada
masa itu, di kota Kudus telah berdiri 12 perusahaan rokok besar, 16 perusahaan
menengah dan 7 pabrik rokok gurem / bahasa jawa ( kecil ).
Beberapa nama diantaranya adalah, Delima, Djangkar, Garbis & Manggis, kemudian Tjoa Khang Hay dan Bal Tiga Ambruk yang dimasa saat ini kesemuanya telah ditutup bisnis usahanya.
Karena faktor pengurusan dan perselisihan yang terjadi antara ahli warisnya.
Namun sebagian lainnya karena tidak sanggup bersaing bisnis dengan beberapa merk dagang baru lainnya sepertin Djarum yang didirikan oleh Oei Wie Gwan pada tahun 1951 dan Minak Djinggo yang didirikan oleh Kho Djie Siong pada tahun 1930 sebagai masa keemasannya yang sekaligus menjadi masa suram bagi rokok Bal Tiga.
Bisnis rokok kretek yang
berasal dari kota Kudus Jawa Tengah tersebut dipasarkan diluar kota Kudus dan
menyebar diseluruh kota-kota besar di Indonesia dan pasar luar negeri meskipun
dalam prakteknya masih sangat dibatasi oleh peraturan pemerintahan di Indonesia.
Sha /M.Iqbal
Photo Taken By; Sohan
Riyanto
Comments
Post a Comment