Pabrik Gula Colomadu Dan Pengaruh Praja Mangkunegaran Solo



Sha Mantha




Bermula dari minat Mangkunegaran IV ( 1853-1881 ) untuk melakukan kegiatan bisnis, tidak dapat dilepaskan dari tradisi / kebiasaan nenek moyangnya yakni Mangkunegaran 1.

Pemilihan Pengembangan perkebunan tebu untuk mendukung industri gula oleh beberapa pertimbangan, antara lain : 

1.       Gula merupakan produk yang dibutuhkan di pasar dalam maupun luar negeri

2.       Tanaman tebu sudah terbiasa di tanam di tanah – tanah Mangkunegaran

3.       Hasil penjualan dapat meningkatkan penghasilan selain dari sektor pajak

4.    Menunjukkan posisi Mangkunegaran lebih menonjol di bidang ekonomi dari         Kasunanan, Kasultanan dan Pakualaman 

Untuk membangun perkebunan tebu, Mangkunegaran IV, memilih Desa Krambilan Distrik Malang Jiwan di sebelah Utara Kartasura. Pemilihan lokasi tersebut, mempertimbangkan tanahnya yang subur serta air yang mencukupi.  

Setelah mendapat persetujuan dari residen Surakarta Nieuwenhuysen, Mangkunegaran IV, memerintahkan seorang ahli berkebangsaan Jerman bernama R. Kampf untuk membangun pabrik gula. 

Peletakan batu pertama dilakukan pada hari minggu tanggal 8 Desember 1861 dan menelan biaya pembangunan pabrik mencapai f400.000.  

Dengan salah satu sumber modal yang berasal dari hasil keuntungan perkebunan kopi Mangkunegaran dan mendatangkan seluruh alat-alat produksi pembuatan gula langsung dari Eropa. 

Mangkunegaran IV, kemudian memberikan nama pabrik gula tersebut Colomadu        ( gunung madu ) yang bermakna sebagai harapan agar kehadiran pabrik gula menjadi simpanan kekayaan yang berbentuk gula menyerupai gunung.

Pada tahun 186.

Pabrik gula Colomadu kemudian mulai berproduksi dan telah berorientasi kemasa depan dengan menggunakan instalasi standar pabrik gula dimasa itu. 

Hasil panen perkebunan tebu seluas kurang lebih 95 hektar, mampu menghasilkan kurang lebih 3.700 kuintal gula. Hasil produksi gula tersebut dipasarkan ke wilayah lokal, juga ke Singapura dan Bandaneira. 

Dan memberikan keuntungan yang memuaskan bagi Praja Mangkunegaran. Keuntungan penjualan gula tersebut juga dipergunakan untuk membayar gaji bangsawan, operasional praja dan menebus tanah lungguh ( tanah tinggal ). 

Perkembangan produksi gula di Jawa begitu penting pada masa itu dan diulas secara mendalam di Harian De Locomotief karena biaya pembuatannya yang mahal. 

Dan membuat setiap orang yang berkunjung di luar kota Solo, akan memohon kepada Mangkunegaran IV, hanya untuk supaya dapat mengunjungi pabrik gula tersebut.  

Seiring waktu, sisa-sisa kejayaan tersebut memudar terlebih pada tahun 1946 terjadi revolusi sosial di kota Solo yang dipimpin oleh Tan Malaka dan membawa situasi politik Puro Mangkunegaran dan Keraton Kasunanan Surakarta sampai pada posisi yang terjepit dengan munculnya gerakan anti Swapraja. 

Dengan memberikan “ ijin” yang dilakukan oleh Mangkunegaran VIII kepada pemerintah, sedangkan pada tahun 1949 ketika Belanda masuk, aset yang semula dikuasai oleh pemerintah, kembali dimiliki oleh Mangkunegaran. 

Lalu pada tahun 1952, aset tersebut kemudian ditarik kembali oleh Mangkunegaran dengan PTPN IX perihal legalitas aset, yang baru saja dikeluarkan pada saat Dahlan Iskan mantan menteri BUMN ketika masih menjabat sebagai menteri yang  akhirnya digantikan oleh menteri yang baru di era Pemerintahan Presiden Joko Widodo yaitu Rini Soemarmo. Sha 

 

Oleh Berbagai Sumber

Photo Taken By; Dzifkrie Afsan

 


Comments