Arsip Nasional |
Trend Fashion tidak saja hanya diperuntukkan bagi kaum wanita, melainkan juga bagi kaum pria, perkembangannya tidaklah mudah dan terjadi begitu saja.
Dimana pada masa lalunya busana atau pakaian adalah ciri
identitas seseorang dari mana asal usul serta latar belakang seseorang.
Pada peradaban modern saat ini, setiap orang selalu dituntut untuk
maksimal dalam berpenampilan serta mengikuti aturan-aturan tertentu dalam
prilaku berpakaian yang juga diterapkan bagi kaum pria, pada situasi, kondisi,
tempat, serta acara keseharian apa saja yang dilakukan didalam aktifitas harian
yang dilakukannya.
Budaya sangat melekat dari etika berbusana serta ciri pakaian
seseorang yang dikenakan, yang tidak harus ditinggalkan sebagai bentuk euphoria
/ tekanan dari kelompok-kelompok tertentu, serta cara lain dalam mengisi dan
mengikuti pola perkembangan zaman yang ada.
Namun juga untuk lebih menyederhanakan saja tujuan dari
penggunaan pakaian tersebut, tanpa perlu melupakan latar belakang serta dari
mana asal usul dan leluhur setiap bangsa yang berbudaya.
Pada abad ke-17 Amangkurat II era Kerajaan Mataram
memulai mencoba pakaian ala Eropa.
Yang Mulia Raja Amangkurat II, mengenakan pakaian dan
kaus kaki serta sepatu Belanda, celana sebatas lutut dengan kancing-kancing
dibagian lutut, 3 potong jas berbahan beludru yang terbuka dibagian depan serta
dihiasi dengan renda emas dan dilengkapi juga dengan perhiasan juga topi.
Busana yang dikenakan oleh Raja Amangkurat II pada awal
mulanya dianggap sedang mengorbankan identitas jawa-nya dan membuat beberapa
orang pada masa itu berfikir bahwa Raja Amangkurat II adalah seorang penyaru (
menyamar ) sebagai putra admiral Belanda, bukan seorang pangeran dari Jawa.
Oleh beberapa pihak, mengenakan busana tradisional bahkan
dianggap merendahkan diri sendiri, sedangkan berpakaian ala Eropa dianggap
meninggikan derajat sosial.
Dimana pada masa itu, diskriminasi kuat terjadi pada para pria
yang mengenakan busana tradisional ( batik dan blangkon /
penutup kepala pria ).
Dibalik gaya hidup necis nan modern tersebut, terselip makna
bahwa berpakaian eropa menjadi suatu indikasi bahwa seseorang mendukung
perkembangan ide-ide progresif.
Yang tak pelak angin modernitas yang berhembus tersebut,
perlahan turut mengubah cara berpakaian elit masyarakat di Jawa pada masa
pemerintahan Hindia-Belanda.
Penampilan sebagai sarana pembedaan juga diskriminasi karena
pakaian yang dikenakan pada masa itu sangat mempengaruhi status sosial
seseorang, dimana Belanda menjadikan pakaian sebagai salah satu praktik
kolonialisme yang ditentang oleh para aktivis dan mengantarkan beberapa tokoh
aktivis tersebut mendekam dibalik jeruji besi ( penjara ).
Pada akhir abad ke – 19 para siswa STOVIA ( Sekolah
Tinggi Kedokteran ) yang didirikan pada tahun 1899 masih diwajibkan memakai
busana tradisional dan 10 tahun kemudian para siswa kemudian mengubah aturan
tata cara berpakaian tersebut dengan mengenakan celana panjang lengkap dengan
stelan jas berwarna putih. Dan para pria muda di masa pemerintahan Hindia –
Belanda pada masa itu mulai memotong rambutnya.
Para siswa tersebut merupakan pelajar yang pertama
kali ( pelopor ) awal mula modernisasi yang juga dilakukan oleh para siswa
pelajar HBS, dan Sekolah Pendidikan Guru.
Pada tahun 1901 para siswa yang menempuh studi di
Europeesche Lagere School ( ELS ) diantaranya adalah Margono Djojohadikusumo (
kakek dari Prabowo Subianto ), pada masa itu masih mengenakan kain batik, jas
tertutup tanpa mengenakan alas kaki dan cara berpakaian seperti itu masih
dicemooh oleh para kepala sekolahnya juga oleh para siswa Indo – Eropa, dimana
siswa yang mengenakan busana tersebut dinamakan sebagai “Pribumi Kotor”.
Perbedaan tersebut sangat mencolok dan berada pada alas kaki
yang dikenakan serta nama Belanda yang disandang oleh siswa-siswa yang
bersekolah pada masa itu.
Pada tahun 1910 seiring semakin banyaknya sekolah
modern yang dibuka seperti Sekolah Tinggi Teknik Techniche Hogeschool ( cikal
bakal Institute Pertanian Bogor ) yang didirikan pada tahun 1920 semakin
menambah jumlah putra-putra priyayi ( kaum bangsawan ) dan putra orang kaya
lokal yang kemudian menempuh pendidikan sekolah di lembaga pendidikan tersebut.
Polemik “kehilangan identitas” tersebut kemudian juga
muncul pada awal abad ke -20 yang ditulis oleh Ki Hajar Dewantara dalam buku
biografinya yang berjudul “ De Indier “ dan diterbitkan pada tahun 1914. Ki
Hajar Dewantara ( tokoh Pendidikan Nasional Indonesia yang berasal dari Jawa
), menyampaikan bahwa para orang tua dan saudari-saudari dari kaum
konservatif cemas serta melancarkan protes karena hal tersebut menyebakan
renggangnya hubungan antara ibu dengan putranya yang memotong rambut.
Sedangkan pada era tersebut di tanah jawa seorang putra /
anak laki-laki tanpa rambut panjang berarti bukan orang Jawa. Hal tersebut kian
rancu saat pria-pria Jawa mulai meninggalkan sarung dan penutup kepala.
Pada tahun 1917 surat kabar Oetoesan Melajoe juga menuliskan
bahwa seorang melayu yang mengelakkan pakaian nasionalnya demi pakaian barat
tidak saja mempermalukan dirinya sendiri dan mengingkari kebangsaannya, tetapi
ia juga sulit dikategorikan menurut kelompok nasionalnya sendiri – bukan eropa,
bukan melayu.
Pada tahun 1921 dalam pertemuan Jong Java di Surabaya, juga
terjadi perbincangan mengenai penutup kepala. Yang cukup dramatis disampaikan
oleh Soekarno ( Presiden Republik Indonesia pertama ) yang pada saat itu masih
baru berusia 20 tahun.
Sukarno berpidato secara lantang dihadapan semua orang dan
menyerukan kegusarannya yang disampaikannya secara langsung dihadapan kaum
cendekiawan yang pada saat itu hadir di pertemuan tersebut, karena
mempertanyakan pemakaian kain penutup kepala ala Jawa ( blangkon )
yang diganti dengan peci, serta batik yang digantikan dengan
sarung yang dianggap sebagai pakaian untuk kaum yang lebih rendah
pada saat itu.
Dalam pidatonya Sukarno menyampaikan bahwa, para pria
memerlukan sebuah simbol bagi kepribadian Indonesia dan menyampaikan jika peci
sama dengan yang dikenakan oleh para pekerja biasa, yaitu bangsa Melayu, serta
mengajak para pria dan hadirin yang datang pada saat pertemuan tersebut untuk
menegakkan kepala tinggi-tinggi guna mengemban topi penutup kepala tersebut (
peci) sebagai simbol Indonesia Merdeka.
Peci ( penutup kepala modern ) identik pada pilihan
warna hitam, di masyarakat luas Indonesia yang kemudian dalam perkembangannya
saat ini menjadi pelengkap busana nasional bagi para pria di Indonesia utamanya
pada acara-acara ( moment ) penting kenegaraan.
Sedangkan sarung ( kain sarung ), adalah kain yang
dikenakan sebagai busana keseharian para pria di Indonesia ( Jawa ) pada acara
khusus saat tengah bersantai, juga dikenakan untuk melakukan ibadah (
shalat ) bagi umat Muslim / Islam dikenakan bersamaan dengan peci
berwarna hitam dan upacara-upacara adat penting di beberapa daerah / kota
di wilayah Indonesia ( Sulawesi, Kalimantan, Sumatera ).
Dalam praktek yang sebenarnya, pilihan busana
berupa celana panjang lengkap dengan stelan jas dikenakan
sebagai bentuk dan apresiasi pilihan trend fashion serta etika berbusana para
pria Indonesia yang awal mulanya untuk meningkatkan rasa percaya diri serta
persamaan derajat dengan kaum barat yang kemudian menjadi bentuk
serta jadi diri bangsa Indonesia itu sendiri. Sha
Oleh Berbagai Sumber
Comments
Post a Comment