Kehidupan dan Pengabdian Punakawan

Punakawan-Abdi Dalem



Punakawan dalam kisah cerita pewayangan Jawa adalah tokoh-tokoh yang bertugas sebagai pembantu setia dikehidupan Pandawa atau 5 tokoh ksatria dalam kisah Mahabharata dan Ramayana. 

Punakawan merupakan tokoh pewayangan yang diciptakan oleh seorang pujangga Jawa.  

Menurut Slamet Muljana, seorang sejarawan, tokoh Punakawan pertama kali muncul dalam karya sastra Ghatotkacasraya karangan Empu Panuluh pada zaman Kerajaan Kediri. 

Empat tokoh punakawan terdiri dari Semar dan ketiga anaknya, yaitu Gareng, Petruk, dan Bagong. 

Para Punakawan ditampilkan sebagai kelompok penceria dengan humor-humor khasnya untuk mencairkan suasana.

Selain itu, Punakawan juga memiliki karakter masing-masing.

Bukan hanya sebagai abdi, tokoh utama Punakawan yang tersohor adalah Semar.
Yang kerap kali memberikan nasihat-nasihat bijaksananya untuk keluarga Pandawa.
 

Semar digambarkan sebagai tokoh yang sabar dan bijaksana. Kepala dan pandangan Semar menghadap ke atas, menggambarkan kehidupan manusia agar selalu mengingat Sang Kuasa.

Kain yang identik dipakai oleh Semar, yakni kain Semar Parangkusumorojo merupakan perwujudan agar memayuhayuning banowo atau menegakkan keadilan dan kebenaran di bumi. 

Di kalangan aliran kepercayaan Jawa, Semar dianggap sebagai symbolic ke-Esaan.
Yaitu makhluk / manusia pertama yang menghuni bumi dan diciptakan oleh Tuhan, dalam babad tanah Jawa / asal muasal pulau Jawa.
Sangat dekat dengan Tuhan, dan bertapa selama 1000 tahun lebih lamanya sampai kemudian muncul mahkluk lain yang diciptakan dan ditemuinya.
 

Pada kehidupan nyata, tokoh punakawan tersebut benar-benar ada dan masih terus bereksistensi sampai saat ini dengan pemahaman yang berbeda dan lebih familiar dikenal dengan sebutan abdi dalem.  

Punakawan adalah sebuah istilah lain untuk membedakan tingkat statusnya dengan abdi dalem yang lain. 

Merupakan orang yang mengabdikan dirinya kepada keraton dan raja dengan segala aturan yang ada. Abdi dalem berasal dari kata "abdi" yang merupakan kata dasar dari mengabdi dan “dalem” yang artinya internal. 

Abdi dalem identik dengan pakaian luriknya yaitu sejenis kain yang ditenun serta biasa dikenakan oleh masyarakat luas di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta yang pada zamannya dikenakan bagi kaum kelas bawah saja.
Seperti petani, rakyat jelata dan para pembantu didalam keraton / kerajaan.

 

 

Punakawan-Abdi Dalem



Busana khusus abdi dalem yang rata-rata kesemuanya adalah pria memiliki ciri tersendiri dengan garis corak lurik tiga per empat biru, kancing di leher yang berjumlah enam, dan kancing lengan tangan yang berjumlah lima.

Corak lurik tiga per empat biru menandakan keteguhan hati.

Orang yang sungguh-sungguh.

Kancing di leher berjumlah enam menandakan rukun iman. 

Sedangkan kancing lengan tangan yang berjumlah lima menandakan rukun Islam yang berjumlah lima.

Gaji bukan hal utama bagi seorang abdi dalem.  

Bagi para abdi dalem menjadi abdi dalem adalah panggilan jiwa.  

Menurut pengakuan para abdi dalem di Kasunanan Surakarta gajinya sebagai seorang abdi dalem tidak lebih dari Rp. 75.000,00 setiap bulannya selama 35 tahun mengabdi, sedangkan gaji abdi dalem di Kasultanan Yogyakarta dan Puro Mangkunegaran Solo setiap bulannya sebesar Rp. 15.000,00 yang tentunya juga sudah belasan dan puluhan tahun mengabdikan diri mereka pada Raja dan keluarga.

Namun demikian dengan menjadi abdi dalem , bagi mereka, justru akan mendapatkan berkah dari Keraton, baik berkah dalam kehidupan, rejeki, anak juga pendidikannya hingga kebutuhan lainnya serta kepuasaan batin yang didapatkan.

Para abdi dalem mendapatkan gelar dari Keraton dan mendapatkan pendidikan. 

Hal ini untuk menandakan bahwa mereka benar-benar abdi dalem Keraton yang memahami segala adat dan peraturan Keraton. 

Abdi Dalem yang masih memiliki hubungan darah dengan Kraton, akan mendapatkan gelar Raden. Sedangkan abdi dalem yang tidak memiliki hubungan darah dengan Kraton akan mendapatkan gelar dengan sebutan Mas Bekel, Mas Rono, dan Mas Lurah (Kasultanan Yogyakarta). 

Tidak hanya mendapatkan nama, para abdi dalem juga mendapat Pawiyatan (pelajaran) tentang budi pekerti, budaya keraton, dan  pengetahuan agama.

Tujuannya agar abdi dalem mengerti sikap perilaku (unggah ungguh, sopan santun), budaya Jawa, dan pendalaman agama khususnya Islam.

Abdi dalem pun akan mendapatkan imbalan materi. Bila mereka sakit atau meninggal dunia, Keraton akan memberikan sumbangan kepada keluarga. 

Selain mengabdikan diri pada Keraton seperti dalam upacara-upacara adat, mereka juga mempunyai pekerjaan lain.  

Ada yang menjadi pedagang, pegawai negeri , pegawai swasta, supir taxi, guru, bahkan ada juga yang menjadi dosen di Perguruan Tinggi. (OLP/ GNFI /SHA)


Oleh Berbagai Sumber

Photo Taken By; Kristupa Saragih

 


Comments