Makna Warna Pakaian Prajurit Kraton


Prajurit Kraton Kasultanan Yogyakarta




Prajurit Keraton pada jaman dulunya adalah pengawal khusus yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban sebuah pemerintahan peradaban kuno ( kerajaan ) di setiap wilayah daerah yang menyebar luas di Indonesia.

Saat Indonesia masih belum berupa negara Republik dan masih dalam bentuk wilayah kerajaan-kerajaan mulai dari kerajaan besar hingga terpecah-pecah menjadi wilayah-wilayah kerajaan kecil akibat sistem adu domba yang dibuat oleh pemerintahan VOC yang memperluas jajahannya hingga ke Indonesia melalui sistem dagang.

Selain berperang, tugas prajurit juga melindungi keluarga kerajaan dan mendukung segala sisi roda kehidupan pemerintahannya.

Dan mulai dipengaruhi oleh fashion barat yang dibuat oleh penjajah kolonial Belanda juga bangsa-bangsa eropa yang mengatur tatanan pola berpakaian para prajurit di beberapa wilayah Indonesia utamanya kerajaan-kerajaan kecil di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Meski demikian, hal tersebut tidak serta merta membuat jati diri dari keraton-keraton hasil campur tangan barat lantas kehilangan arah dan karakter dasar dari para leluhur yang telah lebih dulu menerapkan tatanan dasar-dasar didalam berpakaian bagi para prajurit-prajuritnya.

Desain dari pakaian prajurit keraton tidak sekadar mengejar keindahan semata.

Mulai warna hingga motif kain memiliki muatan filosofisnya sendiri.

Dalam dunia simbolik Jawa terdapat istilah mancapat dan mancawarna.

Segala sesuatu dalam dunia dibagi ke dalam empat bagian yang tersebar seusai arah mata angin, dan satu lagi bagian di tengah sebagai pusatnya.

Begitu juga dengan empat macam nafsu manusia, yaitu aluamah, amarah, supiyah, dan mutmainah.

Keempat nafsu ini kemudian diwujudkan dalam empat macam warna, yaitu warna hitam, warna merah, warna kuning, dan warna putih.

Warna hitam terletak di utara.

Warna merah berada di selatan.

Warna putih di timur.

Warna kuning bertempat di barat.

Sedang sebagai pusat adalah perpaduan berbagai warna tersebut.

Masing-masing warna tersebut memiliki asosiasi dengan berbagai macam hal.
Seperti sifat, benda-benda, maupun titah alus.

Pada pakaian prajurit keraton, warna-warna ini juga memiliki makna maupun asosiasinya masing-masing.

Warna hitam digunakan secara dominan pada baju, celana, dan topi Prajurit Bugis, prajurit Prawiratama, sebagian Prajurit Nyutra Ireng, dan topi mancungan dari Prajurit Dhaeng.

 


Prajurit Kraton Kasultanan Yogyakarta




Warna hitam adalah warna tanah.

Dalam masyarakat Jawa, warna ini dapat diartikan sebagai keabadian dan kekuatan.

Warna wulung, yaitu hitam keunguan, digunakan oleh hampir semua prajurit.

Prajurit Kraton Kasultanan Yogyakarta


Misalnya untuk blangkon Prajurit Dhaeng atau untuk dodot yang dikombinasikan dengan warna putih.

Prajurit Kraton Kasultanan Yogyakarta





Warna wulung dekat dengan warna hitam sehingga bermakna sama.

Warna biru digunakan secara terbatas.

Misalnya pada kaos kaki Prajurit Jagakarya, lonthong (sabuk) Prajurit Dhaeng (Jajar Sarageni, Jajar Sarahastra, dan Prajurit Dhaeng Ungel-ungelan).

Makna dari penggunaan biru dekat dengan makna warna biru yang berkonotasi teduh dan ayom.

Warna hitam dalam mancapat berasosiasi dengan arah utara, besi, burung dhandang (semacam bangau hitam), lautan nila (warna biru indigo), hari pasaran Wage, serta Dewa Wisnu.

Prajurit Kraton Kasultanan Yogyakarta




Warna ini merupakan perwujudan dari nafsu aluamah, yaitu nafsu yang dasar seperti nafsu untuk makan dan minum. 

Pakaian prajurit keraton memang telah kehilangan fungsi praktisnya dalam peperangan.

Hal ini sesuai dengan fungsi prajurit keraton yang sebelumnya sebagai kesatuan militer yang berubah menjadi pengawal kebudayaan.

Walau demikian, simbol-simbol yang diwakili oleh pakaian dan atribut yang dikenakan oleh prajurit keraton tidak lantas pudar.

Watak ksatria yang dimiliki oleh prajurit keraton diharapkan tetap dipegang teguh oleh para prajurit dan dapat dipancarkan kepada masyarakat luas.Sha


Sumber : Situs Resmi Kraton Kasultanan Yogyakarta

Photo Taken By; Kristupa Saragih/Fotografer Net Indonesia

Comments