Sha Mantha |
Kampung batik Laweyan adalah
salah satu daerah wisata yang sengaja disediakan oleh pemerintah Kota Solo
untuk mengundang para wisatawan asing dan domestik melihat-lihat Batik.
Kampung Batik Laweyan dinilai sebagai kawasan sentra Batik di Kota Solo dan
sudah ada sejak zaman kerajaan Pajang tahun 1546 M. Dan sempat meraih
kejayaannya pada tahun 1970an.
Kampung Laweyan didesain dengan konsep terpadu, dengan memanfaatkan lahan
seluas kurang lebih 24 ha yang terdiri dari 3 blok.
Kampung batik Laweyan adalah salah satu kawasan heritage di Kota Solo. Kampung
lawas ini sarat dengan cerita sejarah kehidupan masyarakat kota Solo tempo
dulu.
Sha Mantha |
Memasuki
Kampung Laweyan dan berjalan di antara tembok-tembok serasa berada di masa lalu.
Sha Mantha |
Tembok-tembok
tua dengan warna yang memudar, menjadi saksi masa kejayaan batik Laweyan.
Sha Mantha |
Laweyan adalah nama
sebuah daerah yang terdapat di kota Solo Jawa Tengah dan melegenda dengan
tradisi turun temurunnya.
Laweyan sendiri, berasal dari kata lawe / benang / untaian benang panjang yakni
serat-serat kapas halus yang merupakan bahan baku pembuatan kain / mori identik
putih polos. Karena saking banyaknya pengusaha pemintal benang saat itu menjadi
satu kesatuan dengan geliat kehidupan petani kapas di sepanjang tepian sungai
yang turut mendukung roda perekonomian masyarakat tradisional di kota Solo
dimasa lalunya.
Sementara di dalam kampung Batik tersebut, terdapat ratusan pengrajin Batik
yang menjual berbagai motif batik, seperti motif Tirto Tejo dan motif Truntum
dengan beragam variasi harga.
Membatik merupakan sebuah seni melukis diatas kain dengan alat-alat sederhana
yang dilakukan dibentangan kain / mori putih polos yang kemudian diberi
motif-motif khusus sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan dan tekhnik tambahan dalam
proses pembuatannya.
Kualitas dan ketelitian merupakan ciri penting dalam pengerjaan setiap batik
yang dihasilkan. Terlebih warna-warna pakaian yang digunakan juga masih berasal
dari bahan-bahan pewarna pakaian alami.
Sehingga batik merupakan murni sebuah kerajinan tangan yang dibuat oleh para
ahli didalamnya dan mengandalkan ketelitian serta kreatifitas tinggi dengan
mengandalkan seni melukis / menggambar didalam pengerjaannya.
Sedangkan pada masa awal dimulainya industri rumahan tersebut, setiap pelaku
usaha hanya mampu mempekerjakan tidak lebih dari 100 orang pekerja mengingat
keterbatasan dari setiap pelaku usaha turun temurun yang juga kerap digoncang
oleh tekanan politik yang mengganggu kestabilan ekonomi para pengrajin dan
pelaku bisnis rumahan saat itu.
Dari sistem produksi yang masih sangat tradisional tersebutlah yang menjadikan
tingkat produksi batik tulis Laweyan Solo menjadi cukup terbatas.
Sedangkan ekspor batik tulis asal Laweyan sudah dimulai sejak awal tahun
1930-an.
Bisnis rumahan tersebut dikenalkan pertama kali pada era Kerajaan Pajang
pecahan kerajaan Mataram Islam dengan pelopornya Kyai Ageng Henis, pada awal
abad ke-16. tahun 1546 M
Dari tlatah kerajaan Pajang, batik menyebar menyesuaikan alur sungai Laweyan,
masuk melalui perdagangan alur sungai Bengawan Solo dan seterusnya sampai ke
Laut Jawa, hingga muncullah motif batik pesisiran atau motif pantai utara Jawa.
Batik pada masa lampaunya adalah identitas / jati diri setiap anggota-anggota
keluarga di sebuah kerajaan kecil yang menyebar di seluruh wilayah Nusantara
dan berkembang penggunaanya secara luas pada masyarakat kelas menengah dan
kelas bawah seiring berkembangnya industri fashion di Indonesia.
Dimana sebelumnya penggunaan batik hanya dikhususkan bagi kaum bangsawan saja.
Mengingat penggunaan Batik pada saat itu masih menjadi satu-satunya kebutuhan
utama dalam berbusana masyarakat di kepulaun Jawa dan belum tersentuh
oleh gaung para bangsa Barat yang menekan adanya keragaman fashion modernisasi
di seluruh dunia.
Pada masa penjajahan Belanda tahun 1905. Laweyan selalu dikontrol ketat oleh
pemerintah kolonial Belanda, apalagi sejak Kyai Samanhudi membentuk organisasi
perlawanan bernama Sarekat Dagang Islam. menyatupadukan para saudagar batik
muslim lokal yang ada di Laweyan untuk menghadapi Belanda yang pengaruhnya
semakin kuat di dalam pemerintahan kraton / kerajaan . Menjadikan proses
pemasaran batik pun tidak lagi leluasa dilakukan.
Adanya perubahan tambahan industrial modern rupanya tidak dapat diterima oleh
pelaku pengusaha rumahan yang menganggap harga benang kalah saing dengan benang
buatan pabrik yang jauh lebih murah pada tahun 1970 an tersebut sehingga
mengakibatkan banyak pelaku usaha manual dengan sistem tradisional melakukan
protes keras dan menutup usaha mereka.
Namun seiring waktu, keadaanpun kembali menggeliatkan ekonomi pelaku bisnis
usaha batik dan ragam fashion didalamnya.
Dan menjadikan batik tulis Laweyan Solo sebagai motor penggerak serta identitas
dan jati diri dari kota Solo Jawa Tengah sampai hari ini. Sha
Oleh Berbagai Sumber
Photo Taken by; Donnie L
Anggoro
Comments
Post a Comment