Menurut ahli sastra Jawa
Kuno, R.M.Ng. Poerbatjaraka awal mula timbulnya cerita Panji terjadi di zaman
keemasan dinasti kerajaan Majapahit (atau dalam masa akhir kejayaan kerajaan
tersebut) dan ditulis dalam Bahasa Jawa Tengahan (1968:408–9).
Panji dan Galuh diambil
dari sejarah kerajaan Kediri pada tahun 1041, dimana raja yang berkuasa saat
itu sang Prabu Shri Erlangga yang telah lanjut usia dan saatnya untuk turun
tahta.
Tahta kemudian diberikan
pada putra pertamanya yaitu Dewi Kilisuci, namun ditolaknya dengan memilih
untuk menjadi seorang pertapa. Dan memilih keluar dari segala hal yang bersifat
keduniawian.
Dewi Kilisuci yang konon
adalah orang yang sama dengan Sanggramawijaya Tunggadewi.
Tahta kemudian diberikan
kepada adik Dewi Kilisuci yaitu Lembu Amiluhur dan Lembu
Amerdadu.
Untuk itu kerajaan
dipecah menjadi dua bagian.
Yaitu Kerajaan Jenggolo
/ Janggala / Daha dengan ibukota Kahuripan dan Rajanya Lembu Amiluhur.
Daha merupakan singkatan
dari Dahanapura, yang berarti kota api. Nama ini terdapat dalam prasasti
Pamwatan yang dikeluarkan Airlangga tahun 1042.
Hal ini sesuai dengan
berita dalam Serat Calon Arang bahwa, saat akhir pemerintahan Airlangga, pusat
kerajaan sudah tidak lagi berada di Kahuripan, melainkan pindah ke Daha.
Raja Jenggolo mempunyai
Putra tiga orang yaitu Kudo Roso Wisrenggo (Raden Inu Kertapati), Raden Panji
Sastro Mirudho, dan Dewi Ragil Kuning.
Dan Kerajaan
Panjalu/Kediri Jawa Timur dengan ibukota Dhahapura dan Rajanya Lembu Amerdadu.
Nama "Kediri"
atau "Kadiri" sendiri berasal dari kata Khadri yang berasal dari
bahasa Sansekerta yang berarti pohon pacé atau mengkudu (Morinda citrifolia).
Batang kulit kayu pohon
ini menghasilkan zat perwarna ungu kecokelatan yang digunakan dalam pembuatan
batik, sementara buahnya dipercaya memiliki khasiat untuk melakukan metode
pengobatan tradisional.
Kerajaan Kadiri atau Kediri
atau Panjalu, adalah sebuah kerajaan yang terdapat di Jawa Timur antara
tahun 1042-1222. Kerajaan ini berpusat di kota Daha,
yang terletak di sekitar Kota Kediri hingga saat ini.
Di lain pihak, Raja
Panjalu memiliki tiga putra dari permaisuri (Mahadewi), yaitu Dewi Sekartaji
(Galuh Candra Kirana), Raden Gunung Sari (Raden Malaya Kusuma), Raden Mindoro
serta satu orang putra yaitu Galuh Ajeng dari selirnya (Padukaliku).
Untuk tetap menjalin
persaudaraan, guna mencegah hilangnya ikatan pertalian keluarga, maka Raden Inu
Kertapati dijodohkan dengan Galuh Candra Kirana.
Akan tetapi kejadian
buruk terjadi di Panjalu, dimana permaisuri (Mahadewi) wafat dibunuh oleh selir
(Padukaliku) yang ingin naik menjadi permaisuri dan menjodohkan Galuh Ajeng
dengan Inu Kertapati.
Mendengar itu, Raden
kertapati ( Panji Asmarabangun ) ikut berdukacita dan menghibur kesedihan Dewi
Sekartaji dengan membuat Golekan kencana (boneka dari emas).
Karena mengetahui
keadaan antara Galuh Candra Kirana dengan Galuh Ajeng, yang saling bersaing,
maka dibuatnya dua buah boneka.
Boneka pertama
dibuatnya dari emas dengan pembungkus kain blaco dan satu lagi boneka perunggu
dengan pembungkus kain sutra.
Boneka tersebut kemudian
dikirim ke Panjalu.
Begitu tiba, Galuh Ajeng
serta merta memilih benda yang berbungkus kain sutra.
Lalu dengan hati kecewa,
Dewi Sekartaji menerima boneka yang berbungkus kain blaco yang ternyata setelah
dibuka bonekanya terbuat dari emas.
Galuh Ajeng segera
mengetahuinya dan sangat cemburu dengan berusaha merebut boneka kencana milik
Dewi Sekartaji.
Perebutan itu terdengar
oleh Prabu Lembu Amerdadu ( ayahandanya ) yang kemudian mengusir Dewi Sekartaji
( Galuh Candrakirana ), yang bersikeras tidak mau menyerahkan bonekanya kepada
Galuh Ajeng saudari perempuannya dari selir ayahanya tersebut.
Dewi Sekartaji kemudian
menemui wanita tertua disilsilah keluarga ayahnya yaitu Dewi Kilisuci yang
menyarankan agar Dewi Sekartaji menyamar menjadi Panji Semirang ( sebagai
seorang pria ), dengan cara mengamen di Kerajaan Jenggolo agar supaya dapat
bertemu Inu Kertapati ( Panji Asmarabangun ).
Setelah kepergian Dewi
Sekartaji, perjodohan tetap berlanjut dimana Raden Inu Kertapati dijodohkan
dengan Galuh Ajeng.
Begitu kecewanya Raden
Inu Kertapati, yang kemudian pergi untuk mencari Dewi Sekartaji dengan mencari
petunjuk pada keluarga perempuan tertua dipihak ayahandanya yaitu Dewi
Kilisuci.
Dewi Kilisuci memberi
petunjuk agar Raden Inu Kertapati menyamar menjadi Panji Asmoro Bangun.
Akhirnya keduanya yaitu
Raden Panji Asmoro Bangun dan Galuh Candra Kirana dapat bertemu dan menjadi
suami-isteri.
Cerita ini mempunyai
banyak versi, dan telah menyebar di beberapa tempat di Nusantara (Jawa, Bali,
Kalimantan, Malaysia, Thailand, Kamboja, Myanmar, dan Filipina).
Beberapa cerita rakyat
pada suku Jawa Tengah dan Jawa Timur, seperti legenda rakyat Keong Mas,
Ande-ande Lumut, dan Golek Kencana ( boneka emas ), juga merupakan
turunan dari cerita ini.
Karena terdapat banyak cerita yang saling berbeda namun saling berhubungan,
cerita-cerita dalam berbagai versi ini dimasukkan dalam satu kategori yang
disebut "Lingkup Panji" (Panji cycle).
Cerita-cerita dalam
Lingkup Panji banyak digunakan dalam berbagai pertunjukan tradisional. Di Jawa
Tengah dan Jawa Timur, Cerita Panji digunakan dalam pertunjukan Wayang Gedog.
Sementara di Bali, di
kenal sebagai "Malat", dan di pertunjukan Arja juga memakai lakon
tersebut.
Legenda rakyat ini juga
menjadi bagian tradisi dari Suku Banjar di Kalimantan Selatan meskipun kini
mulai kurang dikenal oleh warga masyarakat setempat.
Di Thailand terdapat
seni pertunjukan klasik yang disebut "Inao" (Bahasa Thai:อิเหนา) yang berasal dari nama
"Inu"/"Ino".
Begitu pula Kamboja yang
mengenal lakon ini sebagai "Eynao".
Menurut C.C.Berg (1928)
masa penyebaran cerita Panji di Nusantara berkisar antara tahun 1277 M
(Pamalayu) hingga ± 1400 M.
Ditambahkannya bahwa
tentunya telah ada cerita Panji dalam Bahasa Jawa Kuno dalam masa sebelumnya,
kemudian cerita tersebut disalin dalam bahasa Jawa Tengahan dan Bahasa Melayu.
Berg (1930) selanjutnya
berpendapat bahwa cerita Panji mungkin telah populer di kalangan istana
raja-raja Jawa Timur, namun terdesak oleh derasnya pengaruh Hinduisme yang
datang kemudian.
Dalam masa selanjutnya
cerita tersebut dapat berkembang dengan bebas dalam lingkungan istana-istana
Bali'.
Lukisan Bali
menggambarkan Pangeran Panji bertemu tiga orang perempuan di hutan.
Relief cerita Panji yang dapat diketahui secara pasti hanyalah terdapat pada
beberapa candi saja dalam masa Majapahit.
Seringkali orang
menyatakan bahwa ciri utama tokoh Panji dalam penggambaran relief dan arca
adalah jika ada figur pria yang digambarkan memakai topi tekes, topi mirip
blangkon Jawa, tetapi tanpa tonjolan di belakang kepala (lebih mirip dengan
blangkon gaya Solo/Surakarta).
Pada tubuh bagian atas
tokoh tersebut digambarkan tidak mengenakan pakaian, bertelanjang dada
sedangkan bagian bawahnya digambarkan memakai kain yang dilipat-lipat hingga
menutupi paha.
Dan dimasa saat ini
menjadi cerita legenda rakyat abadi serta kerap ditampilkan pada acara
sendratarian khusus lengkap dengan gamelan pengiringnya.
Pada berbagai event pagelaran pentas budaya di Indonesia. Sha
Oleh Berbagai Sumber
Comments
Post a Comment