Runtuhnya Mataram






Sura atau Suro ialah nama bulan pertama dalam penanggalan Jawa. 

Puro Mangkunegaran Surakarta Jawa Tengah, sebagai salah satu pusat kebudayaan Jawa, yaitu penerus tradisi Mataram menyambut datangnya 1 Suro dengan melakukan ritual penyucian pusaka, kirab pusaka dan laku tirakat / perjalanan ritual suci. 

Sesuai tradisi, Puro Mangkunegaran Surakarta Jawa Tengah yang intens setiap tahun menggelar Kirab Pusaka Dalem yang akan diadakan pada hari Senin malam tanggal 1 Suro Dal 1951 ( sesuai tanggal dan hari perhitungan Kitab buku Primbon / kalender Jawa Islam ) atau bertepatan pada tanggal 10 September 2018 (Kalender Masehi). 

Sebelum memulai acara kirab ( ritual doa khusus / etika dan estetika yaitu berjalan mengelilingi tembok luar puro Mangkunegaran ). 

Di depan Pendhopo Ageng , biasanya diletakkan dua buah ember dari kaleng yang berisi air bunga. 


Kirab Pusaka Malam Suro



Di belakang ember, diletakkan dua buah meja digabung menjadi satu dan dijajar memanjang, diatasnya juga terdapat bunga.  

Dengan menentukan jenis-jenis pusaka apa saja yang hendak disucikan setiap tahunnya. 

Air dan bunga tersebut digunakan untuk membasuh pusaka. 

Air bekas pembasuhan pusaka yang telah didoakan tersebut dipercayai oleh masyarakat setempat sebagai berkah dan bunga-bunga bekas cucian pusaka akan dibersihkan oleh para abdi dalem sebagai bagian dari berkat khusus bagi siapa saja yang mendapatkannya.  

Hal tersebut juga yang menjadikan, ribuan masyarakat memadati halaman Puro Mangkunegaran sejak sore hari.

 

 

Pura Mangkunegaran Surakarta Jawa Tengah


Masyarakat yang datang tak hanya berasal dari Kota Solo,  sebagian juga datang dari daerah Sragen, Karanganyar, Boyolali dan Klaten Jawa Tengah.  

Mereka antusias ingin menyaksikan Kirab Pusaka Dalem. 

Yang juga dihadiri oleh kerabat-kerabat diluar puro Mangkunegaran semisal perwakilan Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta serta tamu-tamu undangan lainnya.


Raden Mas Harcanie Prabunegoro-Kasultanan Yogyakarta


Menurut abdi dalem puro Mangkunegaran Ida Bagus, ritual tapa bisu ( berjalan kaki mengelilingi tembok puro mangkunegaran tanpa bersuara ), yang dilakukan sebagai bentuk perenungan. 

Mereka juga melakukan kontemplasi dan evaluasi diri terhadap hal-hal yang sudah dilakukan selama setahun terakhir.

Selain itu menurut Kerabat Puro Mangkunegaran yaitu cucu dari Raja Puro Mangkunegoro ke-V Raden Mas Dhoni Andhianto Soeryosutanto mengungkapkan.

Setiap peserta dan tamu undangan. Kerabat, ataupun abdi dalem dibedakan dari warna-warna  samir / kain khusus yang dikenakan oleh masing-masing peserta.

Mulai dari warna merah yang merupakan simbol Belanda, Warna Kuning dan juga warna biru.

Sejak beberapa tahun terakhir, Puro Mangkunegaran mengajak masyarakat untuk turut serta dalam kirab pusaka dan semedi tengah malam 1 Suro.

Ritual semedi / meditasi yang dulu hanya dilakukan kerabat Puro Mangkunegaran tahun ini terbuka untuk umum.

Hanya saja, masyarakat yang ingin mengikuti prosesi ini harus mengenakan busana adat Jawa lengkap (sanggul bagi wanita dan blangkon/penutup kepala bagi pria). Dengan ketentuan pilihan warna yang pada umumnya identik berwarna hitam sebagai atasan dan bawahan kain batik bermotif.

Kecuali kain batik motif Parang yang hanya diperkenankan untuk dikenakan oleh raja.

Puro Mangkunegaran tidak dapat lepas dari peran sang pewaris tahta penerus dinasti kerajaan Mataram Islam dari Keraton Kartasura yaitu Pangeran Arya Mangkunegara  yang dibuang ke Srilanka oleh Belanda yang kemudian diperjuangkan oleh putra mahkotanya yaitu Raden Mas Said yang kala itu masih berada dikandungan ibunya yaitu Raden Ayu Wulan.

Raden Mas Said dilahirkan di Kartasura pada tanggal 7 April 1725. Saat beranjak dewasa, Raden Mas Said kemudian diangkat sebagai abdi dalem di Keraton Kartasura dengan pangkat Mantri Gandek.

Namun, lingkungan politik di dalam keraton tidak membuat beliau nyaman.
Pakubuwana II yang berkuasa pada tahun 1726-1749, yaitu pamanda dari Raden Mas Said yang semakin terpengaruh oleh kompeni.

Keraton Kartasura kemudian lumpuh oleh Geger Pecinan tahun 1740. 

Raden Mas Said kemudian meninggalkan keraton dan hidup bersama rakyat.

Kekacauan politik baru dapat diselesaikan pada masa Pakubuwana III setelah pembagian wilayah Mataram dibelah menjadi dua yaitu Kesultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan Surakarta tanggal 13 Februari 1755.

Selama 16 tahun (1749-1757) hingga Tahun 1741-1742, Raden Mas Said berjuang dan memimpin pasukan Tionghoa melawan Belanda.

Kemudian tahun 1743-1752 bergabung dengan Pangeran Mangkubumi melawan Mataram dan Belanda.

Melalui Perjanjian Giyanti pada tanggal 13 Februari 1755 Belanda berhasil membelah bumi Mataram menjadi dua, yakni Surakarta dan Yogyakarta.

Perjanjian tersebut sangat ditentang oleh Raden Mas Said karena telah memecah belah rakyat Mataram.

Selanjutnya, tahun 1752-1757 Raden Mas Said bersama pasukannya berjuang melawan pamannya sendiri yaitu Pakubuwana III (Keraton Kasunanan Surakarta) dan Hamengkubuwana I ( Keraton Kasultanan Yogyakarta) serta pasukan kompeni.

Kehebatan strategi perang Raden Mas Said bukan hanya dipuji pengikutnya tetapi juga disegani oleh lawan.

Pujian datang dari Gubernur Jawa, Baron van Hohendorff.

Selain itu, pemimpin VOC di Semarang, Nicolaas Hartingh juga memuji strategi perang Raden Mas Said.

Dan menjuluki Raden Mas Said dengan sebutan Pangeran Sambernyawa.

Hal tersebut terlihat oleh mata musuh-musuh dari Raden Mas Said yang dalam jarak 10 meter dapat menyebar kematian.

Sambernyawa sendiri adalah nama pedang pusaka Mangkunegaran yang sakti dan tajam.

Pada saat itu tidak ada yang berhasil menyentuh bahkan menangkap Raden Mas Said. 

Bahkan untuk membuat sketsa lukisan wajah Raden Mas Said saja, tidak ada satupun ahli-ahli seni lukis dan gambar bangsa kompeni yang bisa melakukannya. Ketika Raden Mas Said tengah menjadi buronan pasukan kompeni dan dijadikan sebagai bentuk sayembara berhadiah Penjajah Belanda, bagi siapa saja yang berhasil menemukan Raden Mas Said.

Melihat kenyataan itu, Nicholas Hartingh mendesak Sunan Pakubuwana III untuk meminta Raden Mas Said ke meja perundingan. 

Akhirnya, terjadilah perdamaian dengan Sunan Paku Buwono III yang dikenal dengan Perjanjian Salatiga tanggal 17 Maret 1757.

Strategi perang yang diterapkan Pangeran Sambernyawa dilanjutkan oleh Panglima Besar Jenderal Sudirman sewaktu beliau bergerilya saat melawan penjajah, hingga akhirnya Indonesia memperoleh kemerdekaan. Dengan berganti wilayah monarki menjadi wilayah kesatuan negara Republik Indonesia.

Kerajaan Mataram pada masa keemasannya pernah menyatukan tanah Jawa dan sekitarnya, termasuk Madura.

Dan pernah memerangi VOC di Batavia untuk mencegah semakin berkuasanya firma dagang, yang ironinya justru harus menerima bantuan VOC pada masa-masa akhir menjelang keruntuhannya. Sha
Sumber; Idbgs/RMdn/Sprd/Sha

 

Comments