Sha Mantha-Lingga |
"Takus"
berasal dari bahasa Cina: "Ta" yang berarti besar , "Ku"
yang berarti Lama, "Se" yang berarti Kuil .
Adalah Kuil Tua Yang
Agung,yang terletak di Muara Sungai.
Dengan Stupa teratas
campuran dari bentuk candi Buddha dan Siwa.
Yaitu sebuah situs candi
Buddha yang terletak di desa Muara Takus, Kecamatan XIII Koto, Kabupaten
Kampar, Riau, Indonesia.
Menurut pengembara china
I-Tsing,Muara Takus Adalah ibukota kerajaan Sriwijaya, dimana pada tengah
hari tidak terlihat bayangan seseorang yang berdiri.
Situs ini berjarak
kurang lebih 135 kilometer dari Kota Pekanbaru.
Candi Muara Takus
ditemukan pada tahun 1860 oleh Cornet De Groot , hasil penemuannya dituangkan
dalam sebuah tulisan yang berjudul "KOTO CANDI".
Kemudian G DU Ruy VAN
BEST Holle menulis dengan judul "beschrijving Van de Hindoe, cudheden te
Muara Takus" yang jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia berarti
Lukisan Bangunan Purbakala dari Zaman Hindu di Muara Takus, sehingga Candi
Muara Takus mulai dikenal orang dan mulai saat itu banyak dilakukan penelitian
dan ekspedisi untuk menemukannya.
Selang 20 tahun kemudian yaitu pada tahun 1880-1889, ilmuwan Belanda bernama R.D.M VERBEEK
dan E.TH. VAN DELDEN melakukan penelitian.
Mereka melakukan
ekspedisi ke Muara Takus dan membuat jalan dari Payakumbuh ke Muara Takus yang
terletak disebelah barat Sungai Kampar Kanan, dan jalur kedua dari Sari Lamak
terus ke lembah air putih yang memiliki pemandangn yang indah sampai ke Lubuk
Bangkuang dengan menaiki gerobak berkuda.
Pada awalnya mereka
menemukan sebuah tembok keliling yang mengelilingi Komplek Percandian Muara
yang dilingkari oleh dinding tembok empat persegi berukuran 74 x 74meter yang
terbuat dari batu pasir (tuff) yang tingginya 1 meter.
Dan menulis penemuan
mereka tersebut dengan judul " De Hindow Ruinen Bij Moeara Takoes aan De
Kampar Rivier" pada tahun 1881.
Situs Candi Muara Takus
dikelilingi oleh tembok berukuran 74 x 74 meter, yang terbuat dari batu putih
dengan tinggi tembok ± 80 cm, di luar arealnya terdapat pula tembok tanah
berukuran 1,5 x 1,5 kilometer, mengelilingi kompleks ini hingga ke pinggir
Sungai Kampar Kanan.
Di dalam kompleks ini
terdapat beberapa bangunan candi yang disebut dengan Candi sulung /tua, Candi
Bungsu, Mahligai Stupa dan Palangka.
Keadaan geografis
wilayah Sumatera memiliki aliran sungai yang besar.
Dengan adanya aliran
sungai besar tersebut air dengan mudah didapat untuk keperluan dari upacara
ritual.
Selain faktor air,
faktor ekonomi juga dapat melatarbelakangi berdirinya suatu bangunan suci.
Aliran sungai di
Sumatera pada masa lampau merupakan jalur transportasi untuk perdagangan.
Pada awalnya jumlah
pedagang yang datang sedikit. Namun lama kelamaan karena menunggu waktu yang
tepat untuk berlayar maka mereka bermukim di sekitar daerah tersebut.
Maka diperlukanlah
tempat peribadatan untuk umat beragama, dan didirikanlah bangunan suci.
Karena tidak mungkin
berdirinya suatu bangunan sakral atau candi tanpa didukung masyarakat
pendirinya demi kelangsungan hidup bangunan suci tersebut.
Maka seirama dengan
tumbuh dan pesatnya perdagangan di suatu tempat pada umumnya akan muncul pula
bangunan-bangunan suci atau candi untuk digunakan sebagai tempat menjalankan
upacara ritual oleh para pelaku ekonomi tersebut yang telah mengenal magis
terhadap bangunan candi, berperan dalam fungsi perkembangan sosial/ekonomi dan
perdagangan.
Faktor kekuasaan juga
berpengaruh dalam pembangunan suatu candi.
Suatu kerajaan yang
berhasil menaklukkan suatu wilayah, tentunya terdapat tinggalan yang dapat
menggambarkan ciri khas suatu kerajaan tersebut.
Peninggalan tersebut
dapat berupa prasasti maupun candi.
Hingga kurun waktu 46
tahun kemudian, yaitu pada tahun 1935 DR. F.M. SCHNITGER ilmuwan barat kembali
melakukan penggalian terhadap pintu gerbang didinding utara, pondasi bangunan
Candi.
Pada Bangunan Candi
Bungsu ditemukan Batu bata yang berbentuk Lotus dan didalamnya terdapat abu dan
lempengan emas yang bercampur tanah, dilempengan emas tersebut terdapat gambar
trisula dan tulisan yang berbentuk huruf nagari.
Menurut Schnitger teras
Candi bungsu, Cani tua Bagian dalam berasal dari abad XI dan Candi mahligai
simbol Lingga-Yoni.
Dan Candi Tua bagian
luar diperkirakan direkonstruksi pada abad XII.
Di bagian puncak menara
Candi mahligai dihiasi empat ekor arca singa pada tiap sudutnya, sedangkan pada
teras Candi bungsu terdapat 20 buah stupa kecil dan wajra-wajra yang
bertuliskan tiga hingga sembilan huruf.
Menurut kesaksiannya,
Suatu hari datang segerombolan gajah yang akan selalu datang ke candi tersebut
di tiap malam bulan purnama.
Hal tersebut terjadi
karena posisi dan letak dari Candi Muara Takus tersebut memang berada di daerah
sekitar lintasan dan permainan gajah.
Dan berselang waktu
selama 38 tahun setelah penelitian tersebut dilakukan yaitu pada tahun 1973 Ben
Bronson dan Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional Jakarta, kembali
melakukan penggalian pagar keliling gugusan candi Muara Takus.
Dari hasil penggalian
tersebut ditemukan keramik yang umurnya lebih tua dari masa Dinasti Yuan Ming
dan Ching yaitu antara abad XIII dan XIX.
Kemudian juga ditemukan
fragmen yang terbuat dari perunggu dengan tulisan nagaru yang berasal dari abad
VII dan XII yang dapat dihubungkan dengan Raja Karta nagara dengan ekpedisi
Pamalayunya.
Diperkirakan penggalian
awal sejak tahun 1860 - 1973, masih merupakan bentuk awal penemuan situs candi
Muara Takus pada bagian teratasnya saja. Yang menurut para ahli arkeolog
benda-benda purbakala dan ahli sejarah di Jakarta.
Candi Muara Takus
diperkirakan memiliki bentuk utuh keseluruhannya 2x lipat lebih besar dari
situs candi Borobudur di Magelang Jawa Tengah.
Sehingga, apabila
dilakukan penggalian secara maksimal, tidak menutup kemungkinan akan mengubah
potensi satu daerah di kepulauan tersebut menjadi salah satu destinasi
pariwisata baru di Indonesia, sekaligus menjadi sumber sejarah peradaban yang
selama ini hilang. Sha
Oleh berbagai sumber
Comments
Post a Comment