Sha with Team |
Tidak banyak yang tau
dunia seni khususnya seni tari di kota Solo Jawa Tengah dipenuhi oleh para
seniman tari khususnya jenis seni tarian kontemporer yang ternyata lebih
melebarkan kiprah dan karier mereka di Eropa.
Namun dibalik prestasi gemilang tersebut yang tentunya membanggakan bagi
seluruh pekerja seni sekaligus para pelaku didalamnya, ada satu hal yang
sedikit ingin mereka bagi ditengah masyarakat sekitar.
Tidak ada hal yang lebih membuat mereka bangga apabila juga dikenal ditengah
lingkungan masyarakat luas di tanah kelahirannya sekaligus tempat mereka
menimba ilmu seni yaitu di kota Solo Jawa Tengah itu sendiri.
Sebab, selama ini memang tidak dapat dipungkiri, masyarakat luas di kota Solo
Jawa Tengah, tidak begitu memiliki minat pada kesenian utamanya seni tarian
kontemporer, dan jarang menonton acara pentas even seni budaya yang kerap
disajikan sebagai bagian dari hiburan rakyat yang mulai rutin mengisi denyut
kehidupan dan rutinitas masyarakat luasnya yang mulai penat oleh laju perubahan
serta pembangunan yang menyita seluruh energi masyarakat disekelilingnya.
Dengan harapan dapat menjadi sedikit hiburan yang semata-mata bukan sekedar
untuk menghibur melainkan juga sebagai sarana pendidikan dan ilmu pengetahuan
bagi masyarakat awam luas dikota Solo dan sekitarnya, agar kembali memiliki
minat pada budaya dan kesenian lokal setempat.
Kali ini para seniman sekolah seni Indonesia kota Surakarta Jawa Tengah membuat
satu gebrakan atau serangan baru sebagai bentuk gerakan pengenalan seni tari
temporer itu sendiri.
"Hujan di Bulan Juni."
Rasanya memang tidak mungkin, tapi itulah seni, apa yang tidak mungkin menjadi
mungkin dan tentunya diapresasikan kedalam wujud seni olah gerak tubuh tarian
kotemporer dan disuguhkanpun dengan cara yang unik.
"Hujan di Bulan Juni," diperagakan oleh salah seorang guru tari dari
sekolah institut seni di kota Solo Jawa Tengah yakni Boby Ari Setiawan pria
kelahiran kota Solo Jawa Tengah dan Widya Ayu Kusumawardani mahasiswi lulusan
Sekolah Seni Indonesia kelahiran Purbalingga Jawa Tengah yang sudah 13 tahun
menekuni kehidupannya sebagai seorang penari.
Pertunjukan yang dilakukan tiba-tiba tanpa melakukan pendekatan awal yang
bersifat serangan mampu membuat seluruh pengunjung yang tengah makan, sangat
terkejut dan menarik perhatian semua mata yang ada disekeliling.
SIPA |
Bagaimana tidak, malam itu suasana terlihat
biasa. Antara tamu undangan dan pengunjung yang sengaja diminta datang duduk
dan hanya berjarak dengan banner di tengah Warung Kerupuk, yaitu warung makan
berkonsep jawa etnik yang menyajikan aneka menu makan malam serta minuman khas
kota Solo dan tengah ramai oleh pengunjung yang juga tengah asik bersantap
makan malam tiba-tiba dikagetkan oleh suara pria yang berdiri dan berteriak
sangat keras bernada membentak kearah wanita muda bertubuh kecil berkulit sawo
matang yang berdiri menghadap ke arah pria bertubuh tinggi besar tersebut.
Suara keras yang serta merta menghentikan beberapa saat
aktifitas seluruh pengunjung dengan memusatkan perhatian mereka kepada sepasang
muda-mudi yang terlihat sedang bertengkar hebat dengan raut muka sarat emosi
meledak-ledak.
Ketegangan tersebut mencair dan menyadarkan segenap
pengunjung yang hadir oleh alunan musik yang mengiringi gerak demi gerak tarian
yang mereka bawakan saat itu, menyatukan suasana menjadi hangat dan larut oleh
penjiwaan karakter kedua tokoh penari berbakat tersebut.
Menurut Rendy pengunjung sekaligus penonton dadakan yang
sudah sering menonton atraksi theatre dikampusnya merasa cukup kaget dan tidak
menyangka bahwa atraksi barusan adalah improvisasi dari sebuah tarian
komtemporer.
" bagus, dan penjiwaan karakternya seperti beneran
adegan pertengkaran". Ungkapnya memberi keterangan.
"Semalam saya melihat satu pria dan dua orang wanita
bertengkar hebat di Lava and Bar Kitchen Solo, saya masih pakai ID Card dari kantor
saat acara meeting dan melihat kejadian tersebut sehingga tidak enak untuk
merekamnya." Ungkap Bagus
Kemudian disadarinya saat pementasan tarian " Hujan di
bulan Juni " diperankan pada hari selasa tanggal 04/09/2018 tepat pukul
20.30 WIB Malam itu.
Yang rupa-rupanya adalah latihan yang dilakukan oleh para
seniman tersebut sebelumnya.
Diakui oleh Boby dan Widya,untuk mendapatkan rasa dan emosi
dari karya mereka. Mereka berdua sengaja berlatih ditempat-tempat umum apabila
ruang latihan sedang penuh seperti misalnya di rumah makan.
Menurut Boby Ari Setiawan. Latihan adalah proses untuk saling
bertemu, saling bersatu dengan alam, bersinggungan dengan orang lain,untuk
mendapatkan ekpresi,penjiwaan.
Sedangkan koreografi adalah nilai keindahan, ruang berubah
saat penonton berubah dan serangan emosi tersebut menuntut kemampuan
improvisasi ruang gerak.
"Hujan di Bulan Juni" sekaligus menjadi bentuk
protes, ruang kesenian bersifat representatif serta ruang yang disediakan oleh
penari banyak pembatasan yang digunakan untuk kepentingan-kepentingan tertentu.
Widya Ayu Kusumawardani menambahkan. Ide dari tarian
kontemporer tersebut diangkat dari kehidupan sehari-hari.
Widya menjelaskan, dalam berkesenian bagi dirinya bertemu
orang bisa menjadi karya, menjadi konflik, ada emosi juga rasa sayang.
Hubungan pria dan wanita menurutnya adalah bagian dari
emansipasi,kesetaraan, memudahkan segalanya dan walaupun pada akhirnya akan
selalu diwarnai dengan konflik.
Kesetaraan tersebut bisa mementaskan karya ditempat umum yang
semuanya adalah realita.
Proses karya " Hujan di Bulan Juni " juga didukung
oleh designer busana etnik Lusi Fauiziah.
Filosofi penggabungan wardrobe lurik dan batik pada busana
kostum Boby Ari Setiawan dan Widya Ayu Kusumawardani.
Lusi Fauziah menerangkan, dirinya mengambil konsep kemeja
bagian sisi belakang dengan memilih motif batik tulis tenun gold dan lurik pada
sisi depan kemeja yang dikenakan Boby dan Widya menurut Lusi memang berbeda
tapi tetap selaras untuk dikenakan sebagai kostum.
Pagelaran SIPA sendiri akan diadakan pada tanggal 06
September 2018 hingga tanggal 8 September 2018 bertempat di Beteng Vastenburgh
Solo Jawa Tengah.
Acara ini merupakan programming event ke 10,yang diadakan
sejak tahun 2009 silam sebagai pagelaran event tahunan yang rutin
diselenggarakan di kota Surakarta / Solo Jawa Tengah.
Untuk pagelaran SIPA tahun 2018 ini, pementasan peserta
selain seniman musisi dan penari dari Sekolah Seni Indonesia Surakarta Jawa
Tengah juga diikuti oleh para penari dari delegasi negara Italia, Eropa,
Zimbabwe dan beberapa delegasi negara dunia lainnya.
Solo International Performing Art (SIPA) adalah sebuah
pergelaran seni pertunjukan berskala internasional.
Dengan visi juga misi tak sekedar memfungsikan seni
pertunjukan untuk persoalan kesenian semata.
Namun dari seni pertunjukan, baik itu dari wilayah tradisi
atau pun dari wilayah modern, harus bisa menjadi sarana untuk memunculkan
semangat kebersamaan.
Jika seni pertunjukan itu telah hadir dengan berbagai latar
belakang kultur budaya, energinya akan disatukan dalam sebuah semangat yang
sama.
Oleh sebab itu, panggung ini menjadi sebuah pergelaran akbar
berskala internasional yang kemudian dikenal hingga saat ini dan dikenal dengan
nama Solo International Performing Arts (SIPA).
Tujuan penyelengaraan SIPA adalah sebagai ruang pertemuan
beragam seni pertunjukan dari berbagai latar belakang budaya.
Jika sudah tergelar, SIPA tak hanya berbicara tentang
persoalan panggung pertunjukan di wilayah budaya.
Akan tetapi pemberdayaannya akan menembus batas wilayah
bahkan ke bidang ekonomi dan sosial hingga menjadi sarana untuk membumikan Kota
Solo dan Indonesia. Sha
Oleh Berbagai Sumber
Comments
Post a Comment