Tari Bedaya Anglir Mendung-Pura Mangkunegaran Solo Jawa Tengah |
Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. Khusus pada tahun 2018 ini yang hanya mengundang kerabat dekat keluarga intern saja.
Tari Bedaya Anglir Mendung di Peringatan Kenaikan Tahta Raja Puro Mangkunegaran IX juga diiringi turunnya hujan lebat sejak sore.
Kota Solo Jawa Tengah, memiliki identitas tersendiri, salah satunya dengan berdirinya dua buah wilayah.
Yaitu Kraton Kasunanan Hadiningrat Surakarta dan sebuah kerajaan kecil yang dikenal dengan nama Puro Mangkunegaran Surakarta.
Masing-masing dari kraton tersebut memiliki wilayah kekuasaannya sendiri-sendiri meskipun berada di satu wilayah area Kotamadya di kota Surakarta / Solo Jawa Tengah.
Tiap Kraton dipimpin oleh Raja yang masing-masing berperan pada wilayah kraton sesuai yang di bawahinya.
Pada era Mataram Islam, yang disertai dengan perpecahan. Dan berdirinya kerajaan-kerajaan kecil di tanah Jawa.
Kehidupan seni menetas sebagai bentuk sastra budaya baru, yang menjadi ciri serta identitas di tiap-tiap kerajaan.
Para Raja yang bertugas memimpin rakyat juga memiliki tanggung jawab diluar itu.
Semisal memberikan hiburan kepada rakyatnya dengan menciptakan berbagai bentuk tari-tarian, seni pertunjukan, dan hiburan rakyat lainnya.
Tidak jarang didalam upacara formal di area lingkup dalam Kraton semisal upacara perayaan kenaikan takhta Raja.
Disuguhkan juga tarian-tarian sakral yang dikhususkan pada perayaan tersebut dan merupakan karya cipta dari para Raja-Raja di Mataram saat itu.
Seperti pada peringatan / wiyosan dalem ingkang sinuwun Mangkungaran IX yang ke- 31 atau bertahtanya raja di kadipaten / Praja Mangkunegaran yang diperingati pada hari rabu tanggal 19/09/2018.
Bertempat di Pendopo
ageng / pendopo utama Puro Mangkunegaran Surakarta.
Tepat pada pukul 19.00 wib atau jam 7 malam ini.
Menjadi satu sajian berbeda dengan dipertunjukkannya Tari Bedaya Anglir Mendung sebagai tarian Khusus yang disajikan setiap tahun secara rutin sejak ratusan tahum silam. Tanpa mengundang tamu diluar kekerabatan Puro Mangkunegaran Surakarta. Serta membatasi jumlah media yang meliput. Dengan menetapkan tidak lebih dari 5 jumlah awak media terdiri dari 3 media lokal dan 2 media nasional.
Hal tersebut dapat
dimaklumi, mengingat kesakralan dari tarian Bedaya Ketawang Mendung.
Dengan jumlah penari
terdiri dari 7 orang penari wanita.
Tarian ini menceritakan
tentang perjuangan Raden Mas Said saat melawan pasukan penjajah Belanda.
Busana yg di kenakan
motif batik alas-alasan dan cinde.
Jumlah penari 7 orang
sebagai simbol 7 lubang dalam tubuh manusia dan membawa jemparing (panah)
sebgai simbol perlawanan terhadap penjajah Belanda pada masa itu.
Tarian ini sendiri
diciptakan oleh pendiri Dinasti Mangkunegaran, yakni Raden Mas Said, atau
Pangeran Sambernyawa yang bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA)
Mangkunegara I.
Tarian yang juga dikenal
dengan Bedhaya Ketawang Alit ini khusus digelar saat upacara Jumenengan Dalem
yang memperingati hari diangkatnya raja di Pura Mangkunegaran.
Seperti dilansir
dari Teamlo.net Solo. Tarian ini mengisahkan
tentang pertempuran RM. Said melawan Kompeni pada tahun 1752 di Ponorogo.
Wakil Pangageng Mandrapura Pura Mangkunegaran, MNg (Mas Ngabehi) Supriyanto
mengatakan, tarian itu diciptakan untuk mengekpresikan semangat prajurit dalam
berperang melawan Kompeni.
Adat dari tarian inipun
unik. Semisal penari, pesinden serta penabuh gendang dalam tarian ini
seluruhnya adalah wanita.
Hal ini dimaksudkan
untuk menghormati laskar / prajurit pengawal wanita Raden Mas Said yang
terkenal memiliki Legiun Prajurit Estri yang dinamakan Pasukan Ladrang
Mangungkung dan Jayeng Rasta.
Pola tarian yang
ditampilkan dalam Bedhaya Anglir Mendung tersebut terlihat gemulai.
Namun, disisi lain, para
wanita tersebut terlihat gagah disaat menarik panah yang siap dilepaskan. Hal
itu merupakan perpaduan antara kelembutan serta kepiawaian seorang prajurit
wanita dalam menggunakan senjata, utamanya senjata panah. Sha
Oleh Berbagai Sumber
Photo Taken By; Ida
Bagus
Comments
Post a Comment