Tradisi Perayaan Tahun Baru Islam Di Pulau Jawa



Elhan Zakaria-Reporter TV Berkarya Jakarta



Perayaan Malam Tahun Baru Islam Dan Kirab Pusaka Sebagai Identitas Budaya pada Kehidupan Keagamaan di Kerajaan Nusantara Indonesia merupakan adaptasi dari makna perenungan suci bagi umat muslim pada suku Jawa 

Perayaan Malam Tahun Baru Islam di pulau Jawa kerap diidentikkan dengan simbol-simbol kehidupan adat istiadat yang diadaptasikan dari budaya leluhur bermula sebelum agama Islam mulai diperkenalkan dan tumbuh berkembang meluas dan dikenal di seluruh kehidupan masyarakatnya hingga saat ini. 

Peradaban modern yang menggantikan kekuasaan suatu dinasti kepemimpinan Hindu kuno di wilayah Nusantara berkembang pesat dan mengubah identitas adat kebiasaan lama yang disimbolkan dengan ritual upacara keagamaan berupa kirab pusaka-pusaka di lingkungan kerajaan-kerajaan khususnya Jawa Islamic sebagai bentuk perayaan khusus untuk memperingati malam pergantian tahun baru Islam sesuai dengan adat istiadat yang telah lebih dulu ada. 

Semisal kirab pusaka puro mangkunegaran Solo Jawa Tengah dan kirab Pusaka Kerajaan Panjalu Pasundan Jawa Barat yang jatuh pada hari senin tanggal 10 September 2018 Kalender Masehi ( Malam pergantian tahun baru Hijriyah ), yang disusul kemudian pada keesokan harinya yaitu pada hari ini tepatnya tanggal 1 muharam ( Tahun baru Islam ) tanggal 11 September 2018 Kalender Masehi. Yang dilakukan oleh Kraton Kasunanan Surakarta Jawa Tengah dan Kraton Kasultanan Yogyakarta (Daerah Istimewa Yogyakarta).

 

 



Kirab Pusaka Kraton Galuh Pasundan Jawa Barat


Tidaklah mudah mengganti dan mengubah pandangan Jawa Hindu yang telah mengalir di darah keturunan raja-raja dikerajaan Jawa Hindu yang telah turun temurun diwariskan sebagai denyut nafas budaya adat istiadat itu sendiri sejak ribuan tahun silam sebelumnya. 

Penyebaran agama Islam di Pulau Jawa melalui banyak upaya yang lebih fleksibel, sesuai dengan keadaan dan situasi keberagaman budaya-budaya lokal setempat di wilayah Nusantara sebelum Islam itu sendiri diperkenalkan. 

Semisal mengubah pola tata cara berdoa yang semula bermeditasi di kehidupan keagamaan Buddha sebagai ruang mediasi untuk berbincang-bincang dengan sang Maha pencipta dan menggantinya dengan bentuk wirid atau berzikir menggunakan bahasa Arab yang diakulturasikan dengan budaya dan bahasa Jawa dan bahasa Sunda. 

Islam sejatinya tidak mengubah pola tata cara ruang mediasi atau hubungan intern antara manusia dengan Sang Pencipta ke dalam bentuk doktrin atau tekanan yang menyakiti iman keyakinan dan kepercayaan leluhur dari masyarakat di Pulau Jawa. 

Hal tersebut diperkuat dengan bentuk penyebarannya dan ruang tumbuh agama tersebut  di wilayah kerajaan Hindu Pasundan Jawa Barat yang sama sekali tidak diwarnai dengan konflik, paksaan, pertempuran ataupun pertumpahan darah sejak agama Islam tersebut masuk di wilayah Jawa Barat Indonesia.



Kirab Pusaka Kraton Galuh Pasundan Jawa Barat



Menurut kisah dalam Babad Panjalu, Prabu Sanghyang Cakradewa adalah seorang raja yang adil dan bijaksana, di bawah pimpinannya Panjalu menjadi sebuah kerajaan yang makmur dan disegani.

Suatu ketika sang raja menyampaikan keinginannya di hari tua nanti untuk meninggalkan singgasana dan menjadi Resi atau petapa (lengser kaprabon ngadeg pendita).

Untuk itu sang prabu mengangkat putera tertuanya Sanghyang Lembu Sampulur II menjadi putera mahkota, sedangkan putera keduanya yaitu Sanghyang Borosngora dipersiapkan untuk menjadi patih dan senapati kerajaan (panglima perang).

Oleh karena itu Sanghyang Borosngora pergi berkelana, berguru kepada para brahmana, petapa,resi, guru dan wiku sakti di seluruh penjuru tanah Jawa untuk mendapatkan berbagai ilmu kesaktian dan ilmu olah perang.

Beberapa tahun kemudian sang pangeran pulang dari pengembaraannya dan disambut dengan upacara penyambutan yang sangat meriah di kaprabon Dayeuhluhur.

Prabu Sanghyang Cakradewa sangat terharu menyambut kedatangan puteranya yang telah pergi sekian lama tersebut.

Dalam suatu acara, sang prabu meminta kepada Sanghyang Borosngora untuk mengatraksikan kehebatannya dalam olah perang dengan bermain adu pedang melawan kakaknya yaitu Sanghyang Lembu Sampulur II dihadapan para pejabat istana dan para hadirin.

Ketika kedua pangeran tengah mengadu kehebatan ilmu pedang, tak sengaja kain yang menutupi betis Sanghyang Borosngora tersingkap dan tampaklah sebentuk rajah (tattoo) yang menandakan pemiliknya menganut ilmu kesaktian aliran hitam.

Prabu Sanghyang Cakradewa sangat kecewa mendapati kenyataan tersebut, karena ilmu itu tidak sesuai dengan Anggon-anggon Kapanjaluan (falsafah hidup orang Panjalu) yaitu mangan kerana halal, pake kerana suci , tekad-ucap-lampah sabhenere dan Panjalu tunggul rahayu, tangkal waluya.

Papagon Panjalu mempunyai arti yng sangat penting dalam kehidupan sehari-hari untuk masyarakat khususnya warga panjalu.

Papagon Panjalu ini sudah ada dari jaman dahulunya yaitu dari perkataan orang tua jaman dahulu berpesan kepada anak dan cucunya orang panjalu.

Papagon Panjalu ini berbunyi :


Mangan Karna Halal, Pake Karna Suci, Ucap Lampah Sabenere.
Bila diartikan ke dalam bahasa Indonesia artinya yaitu :
Makan Karena Halal, Menggunakan Karena Suci, Perkataan Harus Sebenarnya.

Maksud dari Papagon Panjalu tersebut adalah:

- Mangan Karna Halal : Yaitu supaya kita memakan makanan harus yang halal, maksudnya kita harus bekerja keras untuk mencari nafkah dengan cara yang diridhoi oleh Tuhan bukan dengan cara yang dilaknat oleh NYA.

- Pake Karna Suci : Yaitu hidup menggunakan sesuatu harus dengan suci / bersih, maksudnya harus membersihkan diri misalnya saja kalau ingin membaca kitab suci dan melakukan aktifitas keagamaan harus bersuci terlebih dahulu.

Dimana sebelumnya dalam tradisi kehidupan keagamaan Buddha-Hindu tirta atau air tidak bisa lepas dari tempat-tempat peribadatan yang selalu dekat dengan sumber mata air.

- Ucap Lampah Sabenere : Yaitu setiap perkataan yang diucapkan harus sebenarnya, maksudnya yaitu harus berbicara  jujur terhadap apa saja yang di bicarakan terhadapa orang tua maupun yang sebaya, dan tidak boleh berbohong sekecil apapun.

Usai melihat pertandingan tersebut. Sang Prabu segera memerintahkan Sanghyang Borosngora untuk membuang ilmu terlarang itu dan segera mencari "Ilmu Sajati" yaitu ilmu yang menuntun kepada jalan keselamatan.

Sebagai indikator apakah Sanghyang Borosngora telah menguasai ilmu sajati atau belum, maka sang prabu membekalinya sebuah gayung yang terbuat dari batok kelapa yang dasarnya diberi lubang-lubang sehingga tidak bisa menampung cidukan air.

Apabila sang pangeran telah menguasai ilmu sajati, maka ia bisa menciduk air dengan gayung berlubang-lubang tersebut.

Untuk kedua kalinya Sanghyang Borosngora pergi meninggalkan kaprabon, dan kali ini ia berjalan tak tentu arah karena tidak tahu kemana harus mencari ilmu yang dimaksudkan oleh ayahandanya tersebut.

Letih berjalan tak tentu arah akhirnya ia duduk bersemadi, mengheningkan cipta, memohon kepada Sanghyang Tunggal agar diberikan petunjuk untuk mendapatkan Ilmu Sajati.

Sekian lama bersemadi akhirnya ia mendapat petunjuk bahwa pemilik ilmu yang dicarinya itu ada di seberang lautan, yaitu di tanah suci Mekkah, Jazirah Arab. Dengan ilmu kesaktiannya Sanghyang Borosngora tiba di Mekkah dalam sekejap mata. 

Di Mekkah itu Sanghyang Borosngora bertanya kepada setiap orang yang ditemuinya agar dapat bertemu dengan seseorang yang mewarisi Ilmu Sajati yang dimaksud.

Orang-orang yang tidak mengerti maksud sang pangeran menunjukkan agar ia menemui seorang pria yang tinggal dalam sebuah tenda di gurun pasir.

Sanghyang Borosngora bergegas menuju tenda yang dimaksud dan ketika ia membuka tabir tenda itu dilihatnya seorang pria tua yang sedang menulis dengan pena.

Karena terkejut dengan kedatangan tamunya, pena yang ada di tangan pria tua itu terjatuh menancap di tanah berpasir.

Lelaki misterius itu menegur sang pangeran karena telah datang tanpa mengucapkan salam sehingga mengejutkannya dan mengakibatkan pena yang dipegangnya jatuh tertancap di pasir, padahal sesungguhnya lelaki itu hanya berpura-pura terkejut karena ingin memberi pelajaran kepada pemuda pendatang yang terlihat jumawa karena kesaktian yang dimilikinya itu.

Setelah bertanya apa keperluannya datang ke tendanya, lelaki itu hanya meminta Sanghyang Borosngora agar mengambilkan penanya yang tertancap di pasir.

Sang pangeran segera memenuhi permintaan pria itu, tetapi terjadi kejanggalan, pena yang menancap di tanah itu seperti sudah menyatu dengan bumi sehingga walaupun segenap kekuatannya telah dikerahkan, namum pena itu tak bergeming barang sedikitpun.

Sanghyang Borosngora segera menyadari bahwa orang yang ada di hadapannya bukanlah orang sembarangan.

Sebagai seorang kesatria ia mengakui kehebatan pria itu dan memohon ampun atas kelancangan sikapnya tadi.

Sang pangeran juga memohon kesediaan pria misterius itu mengajarinya ilmu yang sangat mengagumkannya ini.

Lelaki yang kemudian diketahui adalah Sayidina Ali bin Abi Thalib R.A. ini hanya meminta Sanghyang Borosngora mengucapkan kalimat syahadat seperti yang dicontohkannya dan sungguh ajaib, pena yang menancap di tanah itu bisa dicabut dengan mudah olehnya.

Setelah peristiwa itu Sanghyang Borosngora menetap beberapa lama di Mekkah untuk menimba Ilmu Sajati kepada Baginda Ali R.A. yang ternyata adalah Dien Al Islam (Agama Islam).

Di akhir masa pendidikannya Sanghyang Borosngora diberi wasiat oleh Baginda Ali agar melaksanakan syiar Islam di tanah asalnya. 

Sanghyang Borosngora yang sekarang bernama Syeikh Haji Abdul Iman ini kemudian diberi cenderamata berupa Pedang, Cis (tombak bermata dua atau dwisula), dan pakaian kebesaran.

 



Tombak Trisula



Sebelum pulang Syeikh Haji Abdul Iman juga menciduk air zam-zam dengan gayung berlubang pemberian ayahnya dan ternyata air zam-zam itu tidak menetes yang berarti ia telah berhasil menguasai ilmu sajati dengan sempurna. 

Ringkas cerita Sanghyang Borosngora kembali ke kaprabon dan disambut dengan suka cita oleh sang prabu beserta seluruh kerabatnya. 

Sanghyang Borosngora juga menyampaikan syiar Islam kepada seluruh kerabat istana.

Sang Prabu yang telah uzur menolak dengan halus ajakan puteranya itu dan memilih hidup sebagai pendeta sebagaimana kehendaknya dahulu dan menyerahkan singgasana kepada putera mahkota Sanghyang Lembu Sampulur II.

Air zam-zam yang dibawa Sanghyang Borosngora dijadikan cikal bakal air Situ Lengkong yang sebelumnya merupakan sebuah lembah yang mengelilingi bukit bernama Pasir Jambu. 

Gayung berlubang pemberian ayahnya dilemparkan ke Gunung Sawal dan kemudian menjadi sejenis tanaman paku yang bentuknya seperti gayung. 

Sanghyang Borosngora melanjutkan syiar Islamnya dengan mengembara ke arah barat melewati daerah-daerah yang sekarang bernama Tasikmalaya, Garut, Bandung, Cianjur dan Sukabumi. 

Prabu Sanghyang Lembu Sampulur II tidak lama memerintah di Kerajaan Panjalu, ia kemudian hijrah ke daerah Cimalaka di kaki Gunung Tampomas, Sumedang dan mendirikan kerajaan baru di sana. 

Sanghyang Borosngora yang menempati urutan kedua sebagai pewaris tahta Panjalu meneruskan kepemimpinan kakaknya itu dan menjadikan Panjalu sebagai kerajaan Islam yang sebelumnya bercorak Hindu. 

Sebagai media syiar Islam, Sanghyang Borosngora mempelopori tradisi upacara adat Nyangku yang biasanya diadakan setiap Bulan Maulud (Rabiul Awal), yaitu sebuah prosesi ritual penyucian pusaka-pusaka yang diterimanya dari Baginda Ali R.A. yang setelah disucikan kemudian dikirabkan dihadapan kumpulan rakyatnya. 

Acara yang menarik perhatian khalayak ramai ini dipergunakan untuk memperkenalkan masyarakat dengan agama Islam dan mengenang peristiwa masuk Islamnya Sanghyang Borosngora di bumi Pasundan Jawa Barat. Sha

 

Oleh berbagai sumber

 




Comments