Sha Mantha |
Terpuruk di sisi ekonomi sama halnya hidup di
antara orang mati.
Mengubur hidup-hidup kehidupan seseorang tanpa nyawa sama
dengan membunuh karakteristik seseorang secara permanent.
Uang adalah nyawa hidup semua orang. Bukan sebagai
segala-galanya namun dari situlah setiap orang akan saling berinteraksi, hidup
bersosialisasi bahkan membangun harmoni dalam keharmonisan keindahan hidup yang
sebenarnya.
Bekerja bukan solusi jika tanpa penghargaan atas waktu tenaga
pikiran serta keahlian dari lingkungan yang memiliki kesadaran rendah pada
sesamanya namun menuntut dimengerti atas pembenaran sepihak dan merendahkan
orang lain karena tidak pantas serta layak untuk dihargai.
Gotong royong sebagai sifat-sifat karakteristik kehidupan
masyarakat Indonesia dengan sikap hidup saling bahu membahu atau tolong
menolong saat melakoni berbagai macam hal pada lingkungan kelompok sosial
didalamnya.
Burung tidak akan pernah terbang dengan burung yang warna
bulunya berbeda namun alangkah bijaknya untuk tidak terbang jika belum memiliki
bulu bukan?
Sebab merasa bisa lantas berucap kata nada tinggi seakan
mampu membeli harga serta hormat setiap orang.
Tidak kawan.
Tidak begitu cara menghargai para pelaku jasa dimanapun
mereka meletakkan dan menggelar lapaknya.
Bahkan sangat tidak mungkin orang yang terlihat susah sangat
kecil atau nampak memprihatinkan itu yang ironinya akan mentraktirmu segerobak
bakso melampaui kekuatan perut menampung makanan yang engkau butuhkan.
Lalu bagaimana jika seseorang hidup namun tidak sama dengan
kelompoknya?
Tentu saja resikonya akan dikucilkan dan hidup sendirian
bukan?
Ego yang berkembang terkesan memanfaatkan siapa yang akan
dijadikan korban oleh segelintir pikiran yang memuja nafsu terhadap penindasan.
Yang benar-benar menyakitkan hati Saya ialah kesadaran Saya
yang menentang penyiksaan dan penindasan tersebut dan terasa pedih bila Saya
mengkhianatinya.
Diam menerima meski memiliki banyak pilihan serta kesempatan
namun memilih diam tidak melakukan apa-apa.
Saya tidak mengetahui makna dari kebenaran mutlak. Namun Saya
menyadari kebodohan ini dan di situlah letak kehormatan Saya sebagai manusia
biasa.
Saya belajar mengerti cara menghargai hidup ini meski Saya
tidak begitu membutuhkan bantuan seseorang tapi tetap menerima itu sebagai
bentuk atau cara menghormati kemampuan dan niat baik dibalik nilai dari
pesan-pesan moral bahwa pada dasarnya semua orang hanya mau membantu bukan
hidup sekedar untuk menengadahkan tangan.
Disinilah kesadaran terhadap diri sendiri sesungguhnya.
Tumbuh sebagai pribadi yang indah bukan karena merasa bisa
namun karena masih bisa merasa.
Pada masa tahapan saat itu yang Saya tau hanya bagaimana cara
Saya untuk bangkit dari kematian itu sendiri.
Ini bukan gengsi.
Bagaimana orang lain akan mendengarkan Saya ? Sedangkan Saya
tidak memiliki kemampuan untuk menghidupkan periuk orang banyak?
Bagaimana orang lain akan menoleh sekedar mendengar panggilan
suara Saya jika Saya sendiri tidak memiliki kekuatan apa-apa?
Lemah Tidak berdaya
Jangankan menolong orang lain menolong diri Saya sendiri saja
Saya masih terseok-seok berdiri diatas 2 kaki.
Menyedihkan bukan?
Saya adalah pecundang sejati.
Saya layak diteriaki iblis atau manusia berhati busuk dan
pantas dihujat dengan segala rendahnya ucap kata sumpah serapah seumur hidup
Saya.
Ya.....
Saya benar-benar sangat sadar dan pantas
mendapatkan itu semua.
Sebagai manusia yang tidak berguna saat orang lain lapar bagaimana Saya yang
lapar dapat memberi makan orang lain yang juga sedang kelaparan?
Melihat hidup orang lain susah saja rasanya ikut susah.
Benar?
Reaksipun tentu beragam.
1. Mengejek
2. Mengumpat
3. Menjadikan itu beban
4. Kasian tapi tidak berbuat apa-apa
5. Memberi kehidupan yang baik
6. Merendahkan atau
7. Mendukungnya keluar dari kesusahan
Rasa empati ini sudah menjadi satu kesatuan hidup manusia
yang secara otomatis dilengkapi dengan hati nurani.
Kemudian timbullah hakekat hidup yang tumbuh atas kesadaran
diri yang dikubur oleh kejamnya doktrin-doktrin sekelompok orang yang
mengatasnamakan agama.
Yang merampok seluruh hidup Saya kemudian membenamkan Saya
makin dalam merampas sampai habis seluruh ide-ide yang Saya bangun dari cucuran
keringat tangisan batin seorang perempuan yang memberikan setengah hidupnya
untuk Saya.
Ahhh.....
Betapa naifnya Saya sebagai manusia.
Hingga pada akhirnya Saya memiliki solusi atau rencana bukan sebagai akhir
namun sebagai permulaan dari pembaruan pada hidup Saya.
Semangat adalah hidup baru yang Saya bangun di dasar
pekuburan yang tergali sejak Saya didominasi.
Saya Anti apatisme sebab rasanya sangat tidak perlu menaruh dendam. Tanpa
mempedulikan orang lain rasanya seperti menutup telinga menutup mata pada misi
mental bangsa yang berkualitas.
Saya membuang sikap-sikap dendam kecewa, rasa tidak terima telah dibohongi atau
dipermainkan serta perasaan marah ini jauh-jauh sebagai bentuk terima kasih
oleh ragam cara setiap orang disekeliling Saya yang memerankan berbagai
karakternya demi satu tujuan yang sama.
Yaitu menjadi penyemangat hidup Saya atas keterpurukan
ekonomi ini.
Saya mengakui sedikit kesulitan membangun kualitas serta kuantitas diri
dari perasaan bersalah.
Bagaimana mungkin Saya mampu mengubah orang lain jika Saya
sendiri tidak mampu mengubah diri Saya bukan?
Tentu saja Saya sangat patut disalahkan.
Namun untuk berdamai dengan sendiri saja tidaklah cukup.
Saya siapa ?
Seberapa pantas Saya meninggalkan bekas aroma kehidupan ini?
Tidak memiliki kehidupan yang baik tentu saja Saya sangat tidak pantas disebut
baik.
Jauh sekali dari kata itu.
Akhir dari pencarian itu Saya kemudian menemukan sesuatu yang hilang dari hidup
Saya.
Semangat berkehidupan baiklah yang kemudian membuat hidup Saya menjadi begitu
bergairah kembali.
Sebanyak apapun uang yang Saya miliki, seluas
apapun tanah yang Saya warisi, sebesar apapun rumah yang Saya tempati, sebanyak
apapun sarana dan prasarana yang memfasilitasi.
Semua tidak akan cukup membantu diri Saya sendiri bahkan
orang lain jika Saya sendiri tidak bersemangat dalam berkehidupan baik untuk
menaungi laparnya jiwa Saya oleh hidup tanpa hasrat yang kemudian membakar Saya
hingga habis tanpa bekas lagi.
Mengasah talenta bukan hal sulit dan bukan bakat Saya dalam
menasehati terlebih menggurui.
Saya benar-benar mandiri sangat mandiri dalam banyak hal
bukan berarti Saya tidak membutuhkan formula / pendamping hidup.
Saya butuh namun tidak begitu mudah menjadi seorang
pendamping yang benar-benar Saya butuhkan selain yang memang benar-benar Saya
inginkan yaitu inspirasi. Sha
Comments
Post a Comment