Hitam Putih Bangsawan Inspirasi Negarawan



GPH Paundrakarna JS




Sistem pemerintahan monarki di Negara Kesatuan Republik Indonesia sudah lebih dulu ada dan berkuasa.

Serta turut membangun sekaligus mempelopori badan pemerintahan dalam menginspirasi peradaban bangsa Indonesia.

Runtuhnya kerajaan-kerajaan di nusantara adalah akibat dari serentetan serangan estafet kaum bangsa-bangsa penjajah yang datang silih berganti membawa sistem perdagangan sebagai landasan mereka di bumi pertiwi Indonesia.

Menyisakan beberapa monarki dengan kekuasaan tidak absolut di beberapa daerah di Indonesia sebagai pecahan-pecahannya.

Terbentuk berdasarkan perjanjian politik dengan pemerintahan kerajaan Belanda yang sepanjang 300 tahun lebih menjajah Indonesia.

Sehingga kedaulatan dan kekuasaan pemerintahan negara diatur dan dilaksanakan menurut perjanjian atau kontrak politik yang dibuat oleh negara induk kerajaan Belanda.

Sekaligus kerajaan warisan khususnya Mataram Islam di Jawa.

Yang dalam sejarah panjang Negara Kesatuan Republik Indonesia tergeser dari sistem politik pemerintahan peralihan Buddha dan Hindu sebagai pendahulunya.

Seiring kemerdekaan Negara Indonesia, satu persatu kerajaan nusantara sebagai pelaku penting sistem pemerintahan tiap-tiap daerah di penjuru Indonesia kemudian menyatakan bergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Satu diantaranya adalah Puro Mangkunegara Solo, yang setelah terjadi revolusi sosial di kota Surakarta Jawa Tengah pada tahun  1945-1946 turut kehilangan kedaulatannya sebagai satuan politik. 

Puro Mngkunegaran dibangun setelah Perjanjian Salatiga yang sekaligus mengawali pendirian dari Praja Mangkunegaran dan ditandatangani oleh Raden Mas Said sebagai Raja Mangkunegara 1, Sultan Hamengkubuwana I ( Kasultanan Yogyakarta ) Sunan Pakubuwana III ( Kasunanan Surakarta Hadiningrat ) dan VOC pada tahun 1757.

Pasca kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, hubungan politik umat Islam
dan negara sering mengalami jalan buntu, baik pada dekade pemerintahan Soekarno (Orde Lama)
maupun Soeharto (Orde Baru).

Mereka menganggap partai-partai politik yang berlandaskan Islam
sebagai pesaing kekuasaan yang potensial.
 

Kemudian ditekan keberadaan serta dipersempit ruang geraknya sehingga partai-partai Islam dipaksa untuk melebur menjadi satu partai.

Dan berujung pada akibat yang sangat tidak efektif.

Namun pada masa orde reformasi dibawah kepemimpinan Habibi,
Gusdur, Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo.

Perubahan dilakukan dengan memberikan kebebasan untuk berkreasi.

Sehingga kemudian pemikiran dan pergerakan politik Islam mendapatkan angin segar, dengan memunculkan kembali partai-partai politik yang berasaskan Islam. 

Berlatar belakang masa orde reformasi saat ini, umat Islam Indonesia yang semula termarjinalkan pada orde sebelumnya, akhirnya bangkit kembali
menyusun kekuatan untuk berkiprah di panggung politik.

Sehingga secara praktis banyak di antara mereka yang juga sudah berkesempatan menduduki kursi legislatif bahkan eksekutif.

Mereka menumbuhkan kembali
semangat politik Islam yang semula terbelenggu untuk ikut serta berkiprah menentukan arah kebijakan negeri Indonesia ini ke depannya.

Meski banyak kalangan, baik dari luar maupun dari dalam umat Islam itu sendiri, yang tidak sejalan dengan kebijakan tersebut.

Dalam menghadapi persoalan kemasyarakatan, negarawan sangat dibutuhkan sebagai ahli dalam menjalankan kehidupan pemerintahan sekaligus pemimpin politik yang secara taat asas menyusun kebijakan negara dengan suatu pandangan ke depan atau mengelola masalah negara dengan kebijaksanaan dan kewibawaannya.

Sebab politik adalah kebutuhan suatu negara.

Sementara bangsawan memiliki peran penting sebagai pemilik tanah-tanah sewaan Belanda pada masa itu sekaligus keturunan raja selain pewaris yang berhak mendapatkan kembali hak-haknya berdasarkan tradisi, keluarga dan agama.

Sehingga tercipta sebuah asumsi pada teori elite bahwa yang menentukan dinamika kehidupan politik suatu
wilayah adalah elite politik.

Sebagai individu yang memegang peran penting dalam keputusan-keputusan politik lokal. 

Yaitu bangsawan sebagai suatu kaum minoritas yaitu pribadi-pribadi yang diangkat untuk melayani suatu kolektivitas yang bernilai sosial, sangat efektif sekaligus bertanggung jawab terhadap orang lain.

Yang secara otomatis juga berhak menjadi seorang pemimpin sebab sesuai pada adat istiadat, pewaris sekaligus budaya lama.

Terlahir dengan gelar nama Gusti Raden Mas Paundrakarna Sukmaputera.

 


GPH Paundrakarna

Namun sebagai putera dalem ( Putera Raja )

Setelah ayahandanya naik tahta, putera sulung dari Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara IX yang merupakan Raja Puro Mangkunegaran Solo ini.
 

Kemudian berganti gelar nama begitu menginjak dewasa menjadi Gusti Pangeran Haryo Paundrakarna Jiwo Suryonegoro. 

Sikap kecenderungannya yang lebih leluasa bergerak dibidang seni dan budaya sebagai jalan baginya melestarikan warisan sekaligus adat istiadat keluarganya ketimbang berada dipanggung politik nasional mengikuti jejak nama besar sang Putera Fajar Ir. Soekarno yang tidak lain adalah kakeknya.

Meskipun tidak menutup kecil kemungkinan, hal tersebut kelak akan mengubah pandangannya tentang politik yang kurang menjadi minatnya.

Berkesenian memberikannya ruang kebebasan dalam berkreativitas sekaligus membentuknya menjadi ahli dibidang seni khususnya seni peran, seni vocal , seni design, serta seni tari kreasi modern.

Kepiawaiannya mengolah gerak tarian didukung niat sekaligus minat besar akan pelestarian adat itu sendiri yang secara perlahan-lahan digelutinya dengan tekun, yang kemudian juga menarik minatnya pula dalam menciptakan karya-karya seni tari tradisional.

Selain memiliki selera humor, sikapnya yang fleksible juga membuatnya mudah diterima diberbagai kalangan yang kemudian membentuknya sebagai pribadi yang bebas serta berfikiran terbuka. 

Rasa nasionalisme lebih ditanamkannya pada rasa cintanya terhadap kesenian lokal daerah, sebagai cara lain dalam menumbuhkan sikap-sikap cinta tanah air terhadap generasi muda khususnya anak-anak dan remaja disekelilingnya.

Sebab berkreasi adalah kebebasan setiap orang, baik dikehidupan politik bahkan seni budaya.

Semua kembali pada tiap-tiap individu yang menjalaninya. Sha

Oleh Berbagai Sumber


 


Comments