Dewa Dewi Cinta-Kamajaya Kamaratih



Photo Ilustrasi GPH Paundrakarna JS


Kisah dalam cerita pewayangan dan tokoh-tokohnya, bukan hanya dijadikan media hiburan serta dongeng semata-mata bagi masyarakat suku Jawa.

Selain sebagai seni dan budaya sekaligus hiburan khas masyarakatnya, tokoh-tokoh dalam cerita pewayangan tersebut juga menjadi simbol luhur dan agung sekaligus leluhur yang diyakini telah ada sejak babad tanah Jawa berdiri.

Sehingga tidaklah mengherankan apabila para tokoh-tokoh dalam cerita pewayangan, menjadi bagian penting dalam kehidupan spiritual keagamaan sekaligus kerohanian bagi masyarakat di Pulau Jawa hingga saat ini.

Peristiwa dan kejadian pada kisah cerita dalam pewayangan kemudian dijadikan peringatan yang dikemas sebagai tradisi turun temurun yang tetap dirawat, dilestarikan dan dijaga dalam kehidupan sehari-harinya.

Dalam ritual upacara adat Jawa, kerap digambarkan dalam berbagai prosesi upacara adat Jawa sebagai tanda-tanda alam dalam peringatan pernikahan, kehamilan, kelahiran hingga kematian.

Yang dilukiskan pada simbol-simbol benda, makanan, serta piranti  perlengkapan ritual upacara adat yang hendak dilakukan.

Dua sejoli Kamajaya dan Kamaratih adalah satu dari kisah cinta dalam cerita pewayangan yang dibangkitkan dan diyakini bagi masyarakat Jawa sebagai dua sejoli yaitu sepasang pengantin yang baru beberapa bulan menikah dan meninggal secara tragis kedalam kobaran api menjadi korban karena kesalahpahaman dari paman sekaligus keluarganya sendiri yang kemudian rutin diperingati sebagai rangkaian doa-doa di setiap upacara pernikahan dan upacara kehamilan 7 bulanan yang dipercayai akan menitis pada sepasang pengantin sekaligus suami istri yang saling mencintai.

Titisan sepasang muda-mudi yang hanya mampu dibangkitkan rohnya sebab jasadnya yang tentu saja tidak akan mampu dibangkitkan kembali.

Titisan Kamajaya dan Kamaratih diyakini akan hidup dan bangkit sebagai cinta abadi sepanjang suami dan istri tersebut mampu menjaga bakti serta tanggung jawabnya masing-masing.

Peristiwa tragis tersebut bermula dari keinginan dari Raja sekaligus pemimpin paling kejam di masa itu yang berkeinginan mempersunting puteri dari Raja Kahyangan sebagai istrinya.



Photo Ilustrasi Sha Mantha



Besarnya hasrat yang tak terbendung namun tidak disertai kekuatan yang mumpuni, memaksa Kamajaya yang baru saja menikmati masa-masa bulan madu dengan Kamaratih istrinya, terpaksa harus meninggalkan lingkup keputren untuk menghadap pamandanya yang memandang Kamajayalah satu-satunya orang yang dapat diandalkan untuk melawan serta merebut sang puteri Kahyangan pujaannya dari dalam istana yang dipimpin oleh Raja yang sangat digdaya serta bukan tandingannya tersebut.

Dibawanya Pusaka Jemparing Pancawiyasa yang berupa anak panah berujung bunga sebagai alatnya bertempur dan dikenal sebagai panah asmara milik  Kamajaya tanpa disadarinya, sang istri Kamaratih rupanya secara diam-diam mengikutinya dari belakang.

Hanya pusaka Kamajayalah yang diyakini mampu membunuh Raja Kahyangan dari pertapaannya dan dipatuhinyalah titah tersebut dengan menarik busur panah begitu dekat beberapa depa dari tempat persemedian Bathara Guru.

Namun anak panah tersebut justru hanya mampu menancap di atas batu tidak jauh dari tempat duduk Bathara Guru.

Serta merta merebak aroma wangi semirip aroma tubuh Dewi Uma yang disangka sebagai aroma puteri Kahyangan istri pujaan sang Raja lalim tersebut.

Namun ternyata aroma yang menebar wangi tersebut tidak lain adalah milik Kamaratih istri Kamajaya.

Merasa tertipu dewa raksasa tersebut kemudian murka dan membakar Kamajaya dengan menggunakan mata ketiganya hingga hangus.

Melihat suaminya terbakar Kamaratih pun terjun kedalam api menyusul suaminya.

Para dewa yang memohon agar Kamajaya dan Kamaratih dihidupkan kembali tidak mampu dikabulkan oleh sang Raja yang hanya mampu berjanji untuk membangkitkan titisannya saja pada sepasang suami istri yang saling mencintai. Sha

Sumber; Kisah Pewayangan Jawa


Comments