7 Hari Jelang Imlek



Grebek Sudiro



Kota Solo Jawa Tengah sebagai wilayah otonom mengalami perkembangan kekuasaan yang terbagi menjadi 2 sistem pemerintahan berbentuk kerajaan yang saling mengisi pada setiap peristiwa bersejarah dibalik perayaan-perayaan upacara adat istiadat sebagai latar belakang dari budaya sekaligus peradaban kota Solo dimulai. 

Terdiri dari :

1. Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, dan
2. Puro Mangkunegaran Solo

Sebagai kotamadya yang kental dengan adat istiadat Jawa. 

Jantung kehidupan perekonomian sebagian masyarakat Kota Solo sendiri, tidak dapat dipisahkan dari seputar wisata, kuliner, pendidikan, seni dan budaya yang mengakar menjadi wajah dari Kota Solo itu sendiri. 

Terus berdenyut menjadi tradisi.


Grebek Sudiro


Perayaan-perayaan hari raya keagamaan yang diadaptasikan dengan adat istiadat suku Jawa melalui simbol-simbol pewayangan menjadi suatu khasanah budaya nusantara. 

Sebagai satu kesatuan dari upacara adat istiadat untuk menyambut hari-hari khusus seperti:
- Maulud Nabi Nabi Muhammad ( Islam )
 - Bulan Syawal  Idul Fitri ( Islam )
- Idul Adha ( Islam )
- Suro ( Tahun Baru Islam )
- Imlek ( Tahun Baru Cina )
 

Yang umum dikenal dengan istilah grebek   ( gunungan ).


Grebek Sudiro


Bentuk gunung sebagai bentuk rasa syukur kepada Sang Pencipta. 

Dalam grebeg sudiro gunungan disusun dari ribuan kue keranjang, kue khas orang tionghoa saat menyambut imlek. 

Pada tanggal 17 Maret 1757 

Terjadi sebuah perjanjian yang dikenal dengan istilah perjanjian Salatiga. 

Dari perjanjian tersebut Raden Mas Said sebagai putera mahkota dari Kerajaan Mataram Islam dibantu oleh pasukan sunan kuning ( Panglima Ceng Ho ) bertarung melawan penjajah Belanda dan memenangkan peperangan, sekaligus diakui sebagai seorang pangeran merdeka dengan wilayah kekuasaan berstatus kadipaten, yang disebut dengan nama Kadipaten Mangkunegaran.

Sebagai penguasa Mangkunegaran, Raden Mas Said kemudian bergelar Adipati Mangkunegara I. 

Dalam wilayah otonom yang didapatkannya, Raden Mas Said kemudian memberikan tanah, posisi, dan gelar terhadap pasukan sunan kuning yang telah membantunya memenangkan peperangan dalam perebutan hak-haknya dari tangan penjajah Belanda.

Dengan memberikan area khusus sebagai hunian bagi etnis tionghoa ( Pasukan sunan kuning ) yang kemudian dikenal sebagai kawasan pecinan bertempat di kelurahan Sudiroprajan  kecamatan Jebres di Kota Solo. 

Di kawasan tersebut, warga Tionghoa kemudian menetap dan hidup berdampingan dengan masyarakat Jawa.

Seiring waktu, kedua etnis ini kemudian melakukan perkawinan campur sehingga tercipta generasi baru. 

Untuk menunjukkan akulturasi ini mereka membuat tradisi baru, yang kemudian dikenal dengan istilah Grebeg Sudiro, yang biasa diperingati 7 hari menjelang perayaan Imlek. 

Sedangkan perayaan grebeg sudiro sendiri baru dibuat pada tahun 2007. 

Meskipun bukan tradisi dari perayaan masa lalu, akan tetapi perayaan ini merupakan pengembangan tradisi yang telah ada sebelumnya, yaitu Buk Teko.  

Buk teko (dari kata buk tempat duduk dari semen di tepi jembatan atau di depan rumah, sedangkan kata teko ialah poci, tempat air teh) adalah tradisi syukuran menjelang imlek dan sudah dirayakan semenjak Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Paku Buwono X (1893-1939). 

Yang merupakan Raja ke -X Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. 

Dimasa sekarang, Grebeg sudiro telah berkembang menjadi dialog elegan antar etnis Tionghoa dan suku Jawa. 

Dalam grebeg sudiro tradisi dikembangkan dalam bentuk simbol gunungan yang disusun dari ribuan kue keranjang yang merupakan kue khas orang tionghoa untuk menyambut imlek. 

Gunungan ini kemudian diarak disekitar kawasan Sudiroprajan, disertai pawai berupa kesenian tradisional Tionghoa dan Jawa.



Grebek Sudiro

Berupa barongsai, atraksi reog ponorogo, tarian tradisional, pakaian tradisional, adat keraton hingga kesenian kontemporer yang digelar di sepanjang jalan kawasan Sudiroprajan.



Grebek Sudiro



Berupa barongsai, atraksi reog ponorogo, tarian tradisional, pakaian tradisional, adat keraton hingga kesenian kontemporer yang digelar di sepanjang jalan kawasan Sudiroprajan.


Pasar Gede Solo

Dan berakhir dengan dinyalakannya lampion berbentuk teko yang digantung di atas pintu gerbang Pasar Gede. 

Lampion kemudian dinyalakan selama 40 hari lamanya dan dikemas ke dalam bentuk festival. 

Festival lampion ini dilakukan dengan menyalakan secara serentak 5000 ribu lampion yang digantung disepanjang aliran kali pepe ( sungai di belakang Puro Mangkunegaran Solo ), sekitar jl. Sudiroprajan dan menggantung menghiasi tugu pasar gede.


Festival Lampion Solo

Sembari menunggu malam puncak malam tahun baru China yang disambut meriah oleh segenap warga masyarakat di Kota Solo Jawa Tengah dan sekitarnya yang akan datang berduyun-duyun menikmati keindahan malam ditengah ribuan lampion yang dibanjiri berbagai ragam kuliner jajanan khas kota Solo yang menyajikan ragam hiburan menarik didalamnya. Sha 

Oleh Berbagai Sumber 

Terima Kasih Kepada
Himpunan Solo Foto Bengawan
Komunitas Fotografi Indonesia


Comments