Sha Mantha |
Penulis : Sha Mantha
Konferensi Sekutu pada
tahun 1945 di San Francisco menghasilkan keputusan mengenai
pendirian organisasi PBB multi-nasional untuk memelihara perdamaian dunia.
Namun kapasitas
penegakannya oleh Dewan Keamanan secara efektif dilumpuhkan oleh kemampuan
anggotanya untuk menggunakan hak veto.
Oleh sebab itu, PBB pada
dasarnya diubah menjadi sebuah forum aktif untuk bertukar retorika polemik dan
Soviet dianggap secara eksklusif sebagai tribun propaganda.
Pada tanggal 3 Desember
1989.
Dalam Konferensi Tingkat
Tinggi Malta
Gorbachev ( Rusia ) dan
G.H.W Bush ( Amerika Serikat) menyatakan bahwa Perang Dingin sudah berakhir.
Setahun kemudian, dua
negara tersebut bermitra dalam Perang Teluk melawan Irak.
Ketegangan ekonomi dan
sosial yang dulu dimanfaatkan sebagai "bahan bakar" Perang Dingin
nyatanya terus berlangsung di Dunia Ketiga.
Tak seperti dua perang
dunia, Perang Dingin Amerika Serikat dan Rusia tidak melibatkan serangan
militer.
Keduanya bersaing dalam
politik, ekonomi, dan propaganda.
Sebenarnya keengganan
sejumlah negara Eropa berkonflik dengan Rusia bukanlah suatu rahasia.
Sampai sekarang sekitar
30 persen gas dan minyak yang dikonsumsi Eropa datang dari Rusia.
Bila konflik terjadi,
Rusia menutup saluran gasnya dan orang Eropa kedinginan.
Sebagai negara dengan
militer dan ekonomi yang kuat, Rusia menjadi salah satu eksportir minyak dan
gas terbesar yang memiliki hak veto di DK PBB.
Sehingga pada
kenyataannya Rusia lebih dibutuhkan oleh Amerika dan Eropa.
Bisa dibayangkan
repotnya Amerika Serikat berurusan dengan Iran, Suriah, Korea Utara, Hamas, dan
Hezbollah bila hubungannya dengan Rusia memburuk.
Jangan lupa, Rusia
adalah kekuatan nuklir utama dunia setelah Amerika Serikat.
Belum lagi di halaman
belakang Amerika Serikat sendiri ada Hugo Chavez (Venezuela) dan
kawan-kawan—termasuk Kuba—yang tak ramah.
Dan lagi Amerika Serikat
masih harus menghadapi Al Qaeda, kelompok teroris internasional.
Cendekiawan terkemuka
yang pernah mencalonkan diri sebagai Presiden Amerika Serikat, Pat Buchanan,
menyalahkan kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat pasca-Perang Dingin
yang congkak sebagai penyebab runyamnya hubungan dengan Rusia.
Setelah runtuhnya Tembok
Berlin pada 1989, disusul bubarnya Uni Soviet tahun 1991, tatanan dunia
"G2" berubah menjadi tatanan dunia "G1+n", yang semua
negara lain sejumlah (n) tidak dapat menandingi Amerika sebagai adidaya global
tunggal.
Rusia bersama negara
pecahan Uni Soviet lainnya dan negara bekas Fakta Warsawa ingin berhubungan
baik dengan Barat.
Namun yang terjadi
kemudian, Rusia dipisahkan sendirian.
Pada tahun 1999
Sejumlah negara bekas
Fakta Warsawa, Hongaria, Polandia, dan Ceko, bergabung ke NATO.
Lima tahun kemudian,
Estonia, Latvia, Lituania, Slovenia, Slowakia, Bulgaria, dan Romania mendapat
giliran.
Akibatnya Rusia semakin
terisolasi.
Kazakhstan,
Turkmenistan, dan Azerbaijan, yang kaya minyak, dulu adalah milik Moskwa.
Amerika kemudian membangun
jaringan pipa mengalirkan gas dan minyak dari negeri Laut Kaspia melewati
Georgia menuju Turki untuk diangkut ke Barat.
”Kalau sekarang terjadi
Perang Dingin Kedua, siapa lagi pemicunya kalau tidak kita?” tulis Buchanan
Banyak pengamat
berpendapat, Perang Dingin sudah dimulai.
Kali ini posisi Rusia
sedang di atas angin.
Selama hampir seperempat
abad, tata dunia diwarnai oleh sistem multilateral berbasis liberalisme.
Demokrasi dan
kapitalisme yang berbasis pasar menjadi acuan tatanan global yang, menurut
Francis Fukuyama, menjadi "akhir sejarah".
Adapun jaringan global
tersebut meliputi rantai produksi, sistem kliring keuangan, dan infrastruktur
telekomunikasi.
Secara umum, Amerika
menjadi pemenang dalam sistem ini, seperti banyak negara yang diuntungkan oleh
globalisasi dan munculnya rantai produksi global yang terintegrasi.
Namun, pada akhir
dasawarsa ini, kemunculan Cina sebagai raksasa baru telah mengakhiri era tata
dunia "G1+n".
Walaupun Amerika masih
menjadi pemimpin ekonomi, teknologi, dan kekuatan militer dunia, lambat laun
Cina akan menantang posisi Amerika tersebut.
Dan diperkirakan tidak
sampai satu dasawarsa Cina akan menandingi Amerika.
Walaupun tidak mirip
dengan masa Perang Dingin.
Amerika dan Cina kini
terbelah secara ideologi dan hubungannya saling antagonistik.
Namun globalisasi telah
menjadikan mereka sangat saling bergantung sehingga melahirkan apa yang dikenal
sebagai "two systems, one world", sebagaimana pernah disampaikan oleh
mantan Menteri Luar Negeri Jerman, Joschka Fischer.
Hanya ada dua
perkembangan yang dapat mengubah gambaran tersebut.
Pertama, Cina dan
Amerika berevolusi, yang secara ideologis saling mendekat.
Kedua, Uni Eropa, yang
semakin terintegrasi, dapat menjadi adidaya ketiga di dalam tata dunia
"G3" serta memainkan peran kunci sebagai penyeimbang antara Amerika
dan Cina.
Uni Eropa memiliki
kapasitas yang diperlukan dari sisi ekonomi, keuangan, teknologi, dan sumber
daya manusia serta, yang terpenting, multilateralisme adalah
"DNA"-nya Uni Eropa.
Idealnya, kedua
perkembangan tersebut terjadi secara simultan.
Jika Uni Eropa semakin
terintegrasi dan Amerika semakin berpandangan ke luar, keduanya akan saling memperkuat
dan menopang multilateralisme sebagai cara terbaik untuk menjaga perdamaian
global.
Maka, Cina akan semakin
kesulitan jika tidak terintegrasi ke dalam sistem tata dunia baru tersebut.
Namun, dalam jangka
panjang, kekuatan Cina diperkirakan menyaingi gabungan Amerika dan Uni Eropa.
Walaupun proyeksi
ekonomi jangka panjang perlu memperoleh perhatian khusus, proyeksi dari OECD
memperkirakan PDB riil Cina pada 2040 sama dengan ekonomi Amerika digabung
dengan UE27.
Uni Eropa periode 2007-2013 yang beranggotakan 27 negara.
Kini Perserikatan
Bangsa-Bangsa, sebagai penjaga tatanan hukum multilateral yang dapat mencegah
konflik di antara anggotanya, memiliki kesempatan untuk kembali pada misinya
menciptakan perdamaian dunia.
Kita berharap PBB dapat
membantu mencegah terulangnya Perang Dingin yang akan berakibat pada
memburuknya kesejahteraan global. Sha
Dari Berbagai Sumber
Comments
Post a Comment