Propaganda Sistem Asing Gunakan Elite


Sha Mantha

  

Republik Indonesia, baru saja dihadapkan pada situasi kacau balau perpolitikan negeri.

Pasca kerusuhan, dampak kontradiksi pengesahan UU-Tenaga Kerja Omnibus Law 2020.

Tak ubahnya Indonesia yang tetap melaksanakan pemilihan umum serentak yang dilakukan diseluruh daerah di Indonesia. di tengah kondisi negeri yang sedang sakit.

Agenda Amerika Serikat, di awal tahun 2021 ini, pun sama halnya tak dapat diganggu gugat dan baru saja melantik Presiden ke-46 Joe Biden, menggantikan Donald Trumph yang tak luput diwarnai kontradiksi warganya.

Meski rakyat Amerika berjuang dengan keras menolak pencitraan, namun nyatanya belum sepenuhnya mampu keluar dari industri propaganda tekhnologi rekayasa psikologi massa.

Sebagaimana setiap era, akan berubah cara dalam industri propaganda ini.

Melalui berbagai rekayasa, membangun empati psikologi massa dengan beragam strategi.

Sebuah rekayasa sistem genuin lewat argumen berbangsa, yang sepihak.

Mengancam setiap warga, yang mengkritisi.

Pemerintahan menjadi pemeran event panggung keberhasilan bukan lagi pelayanan dan kebersamaan membaca realitas bangsa.

Melahirkan warga sebagai fans, followers, penonton atau warga apatis yang bingung, ketika politik digerakkan, lewat pameran perhatian keberhasilan semu.

Kepemimpinan semacam ini, setelah terpilih tumbuh menjadi oligarki genuin, membangun kekuasaan dengan parlemen dan yudikatif serta lembaga keamanan negara maupun pendukung fanatik, membentuk Oligarki genuin, untuk membangun kekuasaan melalui pencitraan pemimpin yang membutuhkan euphoria dukungan, lewat sistem citra dan hukum yang manipulatif, propaganda media, bekerjanya industri uang, hingga senjata.

Di Indonesia sendiri, menghadapi awal tahun dengan vaksin anti wabah virus, yang gencar dikampanyekan demi menanggulangi dampak pandemi penyembuhan negeri yang tak luput dari otoritas pemerintah yang setengah dipaksakan.

Sekaligus perayaan ironi prestasi politik dinasti.

Kekuasaan untuk diri dan kelompok yang semakin menjadikan warga tak berdaya.

Warga yang bingung membedakan antara citra dan kebenaran saat warga menjadi fans, team sorak, atau terpenjara tak berdaya dalam kekuasaan manipulatif yang mengancam dalam senyap.

Ketika kekuasaan oligarki lengkap, maka kekuasaan makin dipenuhi lengkapnya pengesahan keputusan atas nama demokrasi disertai hukum dan senjata, didukung pegas industri uang untuk propaganda.

Sedangkan, kelompok elite hanya mencari aman, meraih ruang ekonomi, dan kekuasaan serta kepentingan kelompok baik ekonomi, agama, hingga jabatan.

Makin ironis saat ketokohan berbangsa tidak muncul, dan Ia hadir karena kekuasaan saja.

Sehingga bangsa asing, tetap mudah menjajah tanpa perlu bersusah payah menggunakan kekuatannya sendiri, tapi melalui Elite yang ingin mengejar Kekayaan Pribadi dan menjadi Kaya Raya setelah menjadi Pejabat Negara.

Berdalih membangun bangsa dengan meminta rakyat menyumbang bahkan membayar pembangunannya.

Elite yang mengejar Kekuasaan dan kebal hukum. Meski dirinya yang membuat aturan, tapi juga yang melanggar, karena hukum yang dibuat, hanya berlaku untuk Rakyat dan tidak berlaku untuk Elite.

Elite yang mengejar kepentingan keluarga.

Ketika jabatan negara tak berlaku bagi para generasi bangsa cerdas dan berbakat melainkan keluarga sendiri.

Pengentasan kemiskinan hasil rekayasa kelompok elite yang berlomba-lomba, menciptakan prestasi semu.

Karena faktanya, kemiskinan di negara Indonesia tidak pernah berkurang, yang menjadi ladang bisnis partai politik setiap 5 tahun sekali. 

Rakyat Indonesia yang mengalami ketergantungan dengan negara dan negara yang mencukupkan kebutuhan warganya dari hutang dan membebankan hutang-hutang tersebut terhadap rakyatnya. Sha

 

Oleh Berbagai Sumber

 


Comments