Tembok Beteng Kraton Kasunanan Kartasura |
Akhir paruh pertama
abad ke-18 menjadi tahun-tahun yang penuh kegemparan di pulau Jawa.
Jatuhnya perdagangan
rempah-rempah dan persaingan yang kian ketat dengan EIC.
Membuat VOC harus memutar otak agar dapat terus mengalirkan pundi-pundi keuntungan.
Kegusaran VOC kian
bertambah melihat semakin banyaknya imigran dari Tionkok yang keberadaannya
semakin berpengaruh terhadap perekonomian di Jawa.
VOC khawatir
keberadaan mereka dapat menjadi ancaman baru bagi monopoli perdagangan VOC di
Jawa.
Sentimen VOC terhadap
imigran Tionghoa ini, VOC kemudian dimulai pada tahun 1738 dengan memperketat kebijakan
imigrasi terhadap para imigran dari Tiongkok.
Razia terhadap imigran
Tiongkok kemudian dilakukan secara liar dan mulai marak
diadakan.
Mereka yang tidak
dapat menunjukkan surat izin secara lengkap akan dideportasi.
Akibatnya, banyak orang Tionghoa yang menjadi bulan-bulanan VOC dengan pemberlakuan pemungutan liar.
Sejak Valckenier menjabat
sebagai Gubernur Jenderal VOC pada 1737.
Dalam bukunya, Greg
Purcell, South East Asia Since 1800, 1965:14 menyatakan’;
Populasi orang Tionghoa
di Batavia dianggap meningkat pesat seiring lesunya perekonomian dunia.
Di tambah arus imigran
dari Tiongkok yang deras membanjiri Nusantara tak terkecuali Batavia.
Pada 1740.
Jumlah imigran Tiongkok dan
keturunannya ( peranakan) yang bermukim di dalam benteng Batavia menembus angka
4.000 orang.
Sementara yang hidup di
luar tembok jauh lebih besar dan mencapai 10.000 orang.
Puncak arus balik pasar
bebas dan derasnya imigran Tiongkok yang membanjiri pusat pemerintahan
Nusantara di Batavia, tak
ayal memicu
keresahan VOC.
Paul H. Kratoska, South
East Asia, Colonial History: Imperialism Before 1800, 2001:122 mencatat dalam
bukunya bahwa pengiriman orang-orang Tionghoa dari Batavia dimulai ke wilayah
koloni Belanda lainnya, termasuk Sri Lanka dan Afrika Selatan.
Jocelyn Armstrong,
et.al., Chinese Populations in Contemporary Southeast Asian Societies, 2001:32
dalam bukunya meyakinkan adanya issue perihal orang-orang Tionghoa yang dikirim
ke Sri Lanka dan Afrika Selatan dengan kapal, telah dilemparkan ke laut sebelum
tiba di tempat tujuan.
Dari celah kepanikan
warga Tionghoa di Batavia yang membentuk gerakan perlawanan terhadap pemerintah
VOC.
Puncak perlawanan
tersebut terjadi pada September 1740
Situasi kian bertambah
panas oleh gerakan perlawanan yang semakin kerap terjadi ditambah insiden di
Meester Cornelis ( Jatinegara ) dan Tanah Abang.
Setelah orang-orang
Tionghoa membunuh 50 serdadu Belanda.
Valckenier pun murka
dengan mengirimkan 1.800 tentara untuk membalasnya-Buku Dharmowijono, Mengenai
Kuli, Klontong, dan Kapitan: Citra Orang Tionghoa dalam Sastra
Indonesia-Belanda 1880-1950, 2011:302.
Pada 26 September 1740.
Valckenier segera menggelar
rapat darurat dengan Dewan Hindia.
Ia ingin agar secepatnya dilakukan
tindakan tegas dalam upaya membasmi gerakan yang saat itu telah mengancam
stabilitas keamanan.
Namun di tolak oleh
Gustav Willem Baron van Imhoff yakni Ketua Dewan-Dalam buku Benny G. Setiono,
Tionghoa dalam Pusaran Politik, 2008:113.
Sidang kemudian digelar hingga
beberapa kali dan masih menjadi perdebatan alot dari kedua belah kubu yang
bersilang pendapat.
Hingga akhirnya, van
Imhoff terpaksa menyetujui cara Valckenier setelah menyadari bahaya dan ancaman
yang semakin tinggi.
Tanggal 8 Oktober 1740
Setelah benteng Batavia
dikepung oleh kelompok pemberontak Tionghoa yang merupakan kumpulan orang-orang
Tionghoa dari wilayah Batavia, Tangerang dan Bekasi yang bergabung dalam
pemberontakan dan berjumlah tidak kurang dari 10.000 orang.
Peperangan tak terelakkan
lagi, hingga banjir darah pun di mulai di Batavia
Puncaknya pada 9 Oktober
1740
Valckenier mengerahkan
pasukan militer yang sejak pagi hari mengutus ratusan serdadu Belanda yang disebar
untuk “membersihkan” orang-orang Tionghoa di Batavia, baik yang menetap di
dalam benteng, maupun yang ada di luar tembok.
Lilie Suratminto, dalam
bukunya “Pembantaian Etnis Cina di Batavia 1740”, Jurnal Wacana, April 2004:24,
mencatat;
Hampir seluruh orang
Tionghoa yang ditemukan, tua-muda, pria-wanita, bahkan bayi hingga lansia,
dihabisi dengan membabi-buta.
Bahkan, mereka yang
sedang dirawat di rumah sakit pun tidak luput dari pembantaian.
Sistem adu domba Belanda akhirnya
di luncurkan di tengah pemberontakan warga imigran Tionghoa ke seantero Jawa.
Diedarkan isu jika
orang-orang Tionghoa berencana memperkosa wanita warga, membunuh para
lelakinya, atau menjadikannya sebagai budak ( Setiono, 2008:114 ).
Sehingga menyulut polemik
besar setelah turut melibatkan kalangan warga masyarakat yang tak ayal
berduyun-duyun dari berbagai suku di Batavia, yang turut bergabung dengan VOC
untuk membantai etnis Tionghoa.
Selama 13 hari, ribuan
orang Tionghoa dibantai massal oleh tentara Belanda.
Dan menewaskan tidak
kurang dari 10.000 jiwa.
Tindakan keji Belanda
yang berdalih masalah kependudukan di Batavia, meresahkan Gubernur Jendral VOC Adriaan
Valckenier.
Dalam bukunya, Hembing
Wijayakusuma menulis; Pembantaian Massal 1740: Tragedi Berdarah Angke,
2005:103.
Valckenier, memanfaatkan situasi ini dengan menggelar
sayembara.
Ia menjajikan hadiah besar
untuk setiap kepala orang Tionghoa yang berhasil dipancung Ratusan orang
Tionghoa ditangkap dan disembelih di halaman Balai Kota Batavia, termasuk para
tahanan.
Pembantaian berlangsung
setidaknya hingga 22 Oktober 1740, belum termasuk rangkaian upaya pembersihan
setelahnya.
Sehingga berdampaknya
signifikan.
W.R. van Hoevell, dalam bukunya Batavia in 1740, 1840:447-557,
mencatat;
Tidak kurang dari 10.000
orang Tionghoa tewas dan 500 orang lainnya luka berat, serta lebih dari 700
rumah warga Tionghoa dijarah dan dibakar, baik oleh serdadu VOC maupun warga
sekitar.
Aksi berdarah yang mirip
genosida- pemusnahan etnis ini, kemudian dikenal dengan istilah Chinezenmoord (
Pembunuhan Orang Tionghoa ), dan dusebut dengan tragedi Angke oleh warga sekitar.
Dalam bukunya, Alwi
Shahab menulis Betawi: Queen of the East, 2002:103 tentang Angke berasal dari
dua kata Bahasa Hokkian .
Ang berarti merah dan,
Ke yang berarti sungai.
Angke / Sungai Merah, semerah
banjir darah kaum Tionghoa yang dibantai di Batavia pada 1740.
Kemudian dikenal dengan Geger
Pacinan / Tragedi Angke, merujuk nama daerah di pesisir utara Jayakarta atau
Sunda Kelapa. Batavia semula menjadi pusat kekuasaan VOC yang dibangun di atas
puing-puing kota pelabuhan Jayakarta sebelum dipindahkan lebih ke tengah atau
wilayah Jakarta Pusat sekarang.
G. Bernhard Schwarzen
dalam buku Reise in Ost-Indien yang terbit tahun 1751 bersaksi;
“Seluruh jalanan dan
gang-gang dipenuhi mayat, kanal penuh dengan mayat. Bahkan kaki kita tak akan
basah ketika menyeberangi kanal jika melewati tumpukan mayat-mayat itu.”
Schwarzen adalah salah
satu serdadu VOC yang turut melakukan “pembersihan” warga Tiongkok di Batavia.
Thomas Stanford Raffles
1830, dalam The History of Java mencatat, terdapat 1.789 orang peranakan
Tionghoa yang tewas terbunuh dalam insiden ini.
Di aminkan oleh Willem
G.J. Remmelink dalam bukunya tahun 2002:164.
Ia mencatat Perang
Tionghoa dan Runtuhnya Negara Jawa tahun 1725-1743.
Willem menuliskan bahwa
orang-orang Tionghoa tersebut berkumpul, mempersenjatai diri dan mulai
menyerang unit-unit penting, termasuk pabrik-pabrik gula.
Orang Tionghoa yang
selamat kemudian bersatu untuk melakukan perlawanan terhadap VOC.
Perlawanan digencarkan
dari Batavia dan bergerak melalui peisir Jawa menuju wilayah Mataram di bagian
tengah Jawa.
Pemimpin mereka yang
terkenal yaitu Kapitan Sepanjang (Tay Wan Soey) dan Singseh (Tan Sin Ko).
Pasukan gabungan Jawa dan
Tionghoa berhasil merebut sejumlah kota di Jawa, seperti Jepara, Rembang,
Demak, Semarang yang dikepung selama berbulan-bulan.
Konflik ini kemudian menjalar ke Kraton Kartasura yang telah berdiri
pada tahun 1680-1742.
Dan mengancam kejayaan Kerajaan Mataram
Islam di Jawa yang semula ditandai dengan berdirinya Kraton Kartasura di Desa
Krapyak, Kecamatan Kartasura, Sukoharjo di atas lahan seluas 2,5 hektare.
Kraton Kartasura berdiri oleh pemberontakan
Trunajaya dari Madura, pada tahun 1677 M yang menyerbu di Keraton Mataram lama
di Plered.
Saat itu Adipati Anom melarikan diri ke
hutan Wanakerta dan mendirikan Kraton Kartasura yang kemudian bergelar Amangkurat II.
Pada tahun 1681.
Amangkurat II yang dibantu VOC.
Memenangkan
perang dengan Kerajaan Mataram yang dipimpin oleh Pangeran Puger yang bertakhta
di Kerajaan Mataram Plered.
Hingga kemudian peperangan dan
pemberontakan tak henti mewarnai kisah dan perjalanan dari Kraton Kartasura
ini.
Perlawanan mendapat
simpati dari orang Jawa yang sama-sama menaruh kebencian terhadap
kesewenang-wenangan VOC.
Termasuk Raja Mataram
Pakubuwono II pada Agustus 1741 yang menyatakan dukungannya dengan mengusir VOC
dari tanah Jawa.
Perang semesta yang
digencarkan pasukan koalisi Mataram-Tionghoa ini bahkan sempat memojokkan VOC
hingga pertahanan mereka di Semarang.
Pasukan koalisi
Jawa-Tionghoa terus mengobarkan perlawanan.
Kali ini tidak hanya
terhadap VOC namun juga terhadap Kerajaan Mataram yang telah bersekutu dengan
VOC. Pada Juni 1742 pasukan koalisi mulai melakukan serangan menuju ibukota
Mataram di Kartasura.
Pada 30 Juni mereka berhasil memasuki Kota Kartasura dan mengepung benteng Istana Kartasura.
Tembok Beteng Kraton Kasunan Kartasura |
Kumbarawa dan Kumbarawi
yang dioperasikan pasukan Tionghoa terus menyalak membombardir benteng Kompeni
di Kartasura.
Di sisi lain, tampak
pasukan artileri Mataram yang mengawaki meriam Subhrasta dan Segarawana bahu
membahu menembaki benteng pasukan VOC tersebut.
Garnisun Belanda di
Kartasura cukup kuat. Dipimpin Perwira bernama Van Velsen yang membawahi 200
serdadu Eropa bersenjata lengkap dan meriam di beberapa kubu.
Serangan pada benteng VOC
terjadi 5 Agustus 1741.
Awal perang terbuka
pasukan gabungan Tionghoa-Mataram melawan VOC.
Pimpinan Laskar Tionghoa,
Kapiten Sepanjang kemudian memerintahkan membuat tangga beroda dan didorong ke
arah benteng. Pasukan Jawa-Tionghoa berhasil memanjat benteng.
Benteng Kompeni di
Surakarta jatuh tanggal 10 Agustus 1740.
Peristiwa ini segera
disusul perang besar di seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Sunan Pakubuwono II yang
sudah terkepung kemudian melarikan diri melalui pintu belakang Istana.
Sayangnya, koalisi
tersebut tidak bertahan lama.
Arah angin pertempuran
yang berubah menjadikan Pakubuwono II pada akhir Desember 1741 terpaksa
memutuskan koalisinya dengan pasukan Tionghoa dan berbalik bekerjasama dengan
VOC.
Sunan bersama rombongan
disertai Kapten Von Hohendorff dan para prajurit VOC yang tersisa bergerak
menuju Magetan untuk menyelamatkan diri dan menggalang kekuatan kembali.
Meskipun demikian
pemberontakan tetap tidak mereda karena banyak orang Jawa dan bangsawan Mataram
yang tetap setia berjuang bersama orang Tionghoa melawan VOC termasuk Patih
Notokusomo yang memilih untuk meninggalkan Istana.
Orang Jawa menandai
peristiwa tersebut dengan candrasengkala, Pandito Enem Angoyog Jagad.
Orang Jawa yang
memberontak merasa kecewa dengan sikap Pakubuwono II yang dianggap sudah ingkar
janji terhadap perjuangan melawan VOC.
Dalam kebudayaan Jawa,
kata-kata seorang Raja dianggap sebagai sebuah sabda yang harus dipatuhi/
Posisi Raja sebagai wakil
Tuhan di dunia menjadikan seorang Raja harus berhati-hati dalam mengambil
setiap keputusannya.
Seorang Raja yang terbukti
mengingkari kata-katanya sendiri dianggap sudah kehilangan legitimasinya sehingga
sudah tidak dapat lagi dianut perintahnya.
Pasukan Jawa-Tionghoa
yang telah menguasai Keraton Mataram kemudian mengangkat seorang Raja baru
yaitu Raden Mas Garendi bergelar Sunan Amangkurat V.
Ia merupakan putra bungsu
dari Pangeran Teposono dan cucu dari Amangkurat III.
Ia juga mendapat julukan
sebagai Sunan Kuning atau Cun Ling yang artinya bangsawan tertinggi.
Julukan tersebut juga
diperoleh karena keberadaan pasukan dari orang Tionghoa yang berkulit kuning.
Sayangnya kemenangan
Sunan Amangkurat V dan pasukan Jawa-Tionghoa tidak berlangsung lama.
Lobang besar berdiameter
dua meter di bagian utara benteng, diyakini dilakukan oleh pemberontak Mas
Garendi yang menerobos ke dalam keraton dengan menjebol benteng bersama-sama
anak buahnya.
Meskipun lobang tersebut
sudah ditutup oleh pengelola, namun warga sekitar menganggap awal kehancuran Kraton
Kartasura dari lobang yang dibuat para pemberontak saat itu.
Warga pun menganggap
lokasi tersebut wingit atau angker. Tidak sulit menemukan keberadaan Keraton
Kartasura.
Kini, pasukan
Jawa-Tionghoa di Kartasura harus bertahan dari serangan yang datang dari dua
sisi, dari timur oleh pasukan Madura dan dari arah Semarang oleh VOC.
Pada 26 November 1742
pasukan Madura berhasil menyerang pertahanan Jawa-Tionghoa di Kartasura
sehingga pasukan Sunan Amangkurat V tersebut harus mundur keluar Istana.
Meski demikian,
perlawanan pasukan Jawa-Tionghoa terus dilancarkan secara sporadis hingga akhir
tahun 1743.
Pada Desember 1743
Sunan Amangkurat V menyerahkan diri kepada VOC setelah
sebelumnya terpisah dari para pemimpin pasukannya.
Selanjutnya, sisa-sisa
perlawanan pasukan Tionghoa-Jawa berangsur-angsur berhasil dipadamkan oleh VOC.
Setelah berhasil
menguasai kembali Kraton di Kartasura.
Sunan Pakubuwana II memutuskan
untuk tidak memperbaiki Istana yang telah hancur.
Bagi kepercayaan
masyarakat Jawa.
Istana yang telah jatuh
ke tangan musuh menjadikannya kehilangan ‘wahyu’ atau kesakralannya sehingga
Istana mesti dipindahkan di tempat yang baru.
Selama masa
pemerintahannya, Sunan Hamengkubuwana II tetap melanjutkan memerintah Kartsaura
dari Ponorogo Jawa Timur sekaligus menjabat sebagai Raja terakhir Kasultanan
Kartasura. Sha/A.A.N/I.N.R
Dari Berbagai Sumber
Photo Take by; Wibowo Rahardjo
Model ; Sha Mantha
Comments
Post a Comment