VOC Ketiban Proyek Pembangunan Ibukota Negara Islam



Ndalem Poerwoediningratan 



Puncak terjadinya pemberontakan Mas Garendi di tahun 1742 yang dibantu etnis Tionghoa, berhasil membobol benteng dan menghancurkan Kraton Kasunanan Kartasura di Jawa Tengah. 

Saat itu Pakubuwono II yang masih bertahta, terpaksa melarikan diri ke Ponorogo Jawa Timur dan tetap memantau pemerintahan dari jauh. 

Pakubuwono II bersama VOC segera menyusun kekuatan demi membalaskan kekalahan mereka. 

NAmun VOC juga memanfaatkan celah perseteruan antara pasukan Madura di bawah pimpinan Cakraningrat IV yang memiliki dendam pribadi terhadap Mataram untuk menyerbu Kraton Kartasura. 

Hingga Pada tahun 1743 

Pakubuwono II memutuskan kembali ke Kartasura setelah pemberontak sudah dikalahkan, namun kondisi Kraton yang porak poranda dan rusak, membuat Pakubuwana II memilih untuk memindahkan Istana. 

Di masa kini. 

Bangunan benteng Kraton Kartasura tetap dipertahankan seperti kondisinya semula, menyisa puing sejarah reruntuhan suatu dinasti yang tak lebih sebagai benda cagar budaya yang ditetapkan oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah. 




Tembok Benteng Kraton Kasunanan Kartasura



Cerita kejayaan negara Islam modern di awal abad ke-18 kini bertolak belakang dengan kondisi fisik bekas istana yang saat ini telah difungsikan menjadi tempat pemakaman. 

Kembalinya takhta Pakubuwono II atas Mataram berkat bantuan VOC bukanlah sesuatu hal tanpa pamrih. 

Sebagai kompensasinya; 
1. Maka Pakubuwono II harus menyerahkan sebagian besar kekuasannya terutama terhadap wilayah pesisir. 
2. Pajak cukai serta berbagai pajak lainnya juga harus diserahkan kepada VOC. 
3. Sunan juga harus membayar ganti rugi perang sejumlah 9.000 real serta 2.000 real untuk jaminan putra mahkota Mataram. 
4. Pengangkatan Patih dan Bupati utama Kraton harus melalui persetujuan dari VOC. 

Campur tangan VOC dalam urusan pemerintahan tersebut secara praktis menandakan bahwa sebenarnya Kerajaan Mataram telah kehilangan kedaulatannya. 

Sri Susuhunan Pakubuwono II secara sadar mengetahui bahwa kekuatannya saat itu telah membenturkannya pada posisi yang tidak mampu Ia sangkal serta tolak saat dirinya dihadapkan dengan kontrak VOC. 

Memimpin tampuk pemerintahan di usia muda 13 tahun, sejatinya belumlah mampu Ia emban, namun kondisi itu tak mampu Ia lawan, sehingga secara otomatis, semua jalan dan proses hukum pemerintahan berada dibawah kuasa dan kendali permaisuri serta Patih Cakrajaya. 

Di satu kondisi lain. 

Pakubuwana II masih dihadapkan dengan kubu kedua kakak laki-lakinya berbeda Ibu dari pihak dua Selir Amangkurat IV. 

Yaitu, Pangeran Arya Mangkunegara kakak tertuanya dan Pangeran Mangkubumi. 

Kedua kakaknya tersebut saling bersiteru dengan Permaisuri dan Patihnya Cakrajaya yang cenderung memihak pada VOC. 

Akhir dari perseteruan tersebut memaksa Pangeran Arya Mangkunegara harus terbuang ke pengasingan di Srilanka akibat menjadi korban fitnah Patih Cakrajaya. 

Sedang Pangeran Mangkubumi pergi dari istana dan berjuang sendiri melawan VOC menetap di hutan rimba. 

Setelah Tumenggung Hanggawangsa, Tumenggung Mangkuyudha, Van Hohendorff menemukan lokasi pembangunan Istana baru yang sangat strategis untuk arus arus perdagangan. 

Pakubuwana II kemudian memutuskan kembali ke arah barat dengan mengendarai seekor gajah dan membawa seekor kerbau berbulu merah, pemberian seorang Bupati Ponorogo. 

Gajah pada era monarki sejak era Buddha-Hindu di Nusantara, menjadi tunggangan utama kaum pria, terutama Raja dan prajurit kerajaan, sekaligus kendaraan penting untuk armada perang. 

Kerbau berbulu merah adalah evolusi alam semesta yang mana, turut menyertai setiap peradaban manusia. 

Kedua hewan tersebut memiliki kedekatan emosional dengan Pakubuwana II karena turut menyertai perjalanannya membuka kawasan pemerintahan baru. 

Kerbau berbulu merah yang dinamakan Kyai Slamet pula yang menemukan area strategis dan tempat peletakan dasar awal Istana Kasunanan yang baru. 

Daerah tersebut merupakan milik seorang lurah bernama Ki Gede Sala. 

Nama Kyai Slamet kemudian hingga hari ini, disematkan sebagai pusaka kerajaan ini, selain Masjid Demak. 

Kasunanan Surakarta tidak memiliki pusaka khusus, mengingat serangan bertubi-tubi dari dalam keluarga Pakubawana II selaku Raja terakhir Kasunanan Kartasura. 

Sehingga turut membawa pergi seluruh benda-benda pusaka kerajaan dari Kraton lama/ Kraton Kasunanan Kartasura. 

Pakubawana II adalah gelar untuk Raja yang sekaligus menjadi pemimpin awal / Raja Kasunanan Surakarta pertama. 



Ndalem Poerwoediningratan



Tak lantas seketika istana selesai dibangun di waktu singkat. 

Pakubawana II masih kembali ke Ponorogo dan memantau jalannya pembangunan Ibukota baru, serta tempat tinggal Raja dan keluarga sementara, di sekitar tembok Istana, sekaligus masa penantiannya yang tak sempat menatap berdirinya Istana secara utuh. 

Seluruh proyek pembangunan hunian di lingkup Istana hingga seluruh pembangunan Istana, diserahkan kepada arsitektur Belanda dimana setiap inci bahan bangunan, hampir 99 persennya didatangkan dari negeri kincir angin, dengan seluruh jenis kaca bangunan yang didatangkan dari negara Eropa lainnya sehingga menelan biaya yang tidak sedikit serta memakan waktu yang cukup lama. 



Ndalem Poerwoediningratan



Bangunan pertama yang selesai dibuat saat itu adalah Ndalem Purwodiningaratan, yang merupakan tempat tinggal sementara Pakubawana II, usai Boyong Kedhaton dari Kartasura. 

Selain Istana lama rusak, keponakan Pakubawana II yakni Raden Mas Said, putera Pangeran Arya Mangkunegara masih dikandungan usia 7 bulan saat Pangeran Arya Mangkunegara di buang ke Srilanka ( Lahir tanpa pernah melihat wajah ayahnya ). 

Raden Mas Said Memutuskan kembali menetap di sisa-sisa puing Kraton Kartasura setelah sejak usia 11 tahun hingga dewasa, mengikuti jejak pamannya, Pangeran Mangkubumi yang memilih hidup di hutan rimba, namun keduanya juga masih melakukan perlawanan terhadap VOC, dengan cara bergerilya dan bergabung dengan pasukan Raden Mas Said sejak 1746. 

Setelah pembangunan tempat tinggal sementara untuk Raja selesai di bangun. 

Sunan Pakubuwono II mulai menempati kediaman barunya pada 9 Februari 1746. 

Bahkan peristiwa Boyong Khedaton / perpindahan dari Ibukota lama di Kartasura menuju Kraton Surakarta, diadakan secara megah dengan disertai berbagai iring-iringan. 


Ndalem Poerwoediningratan



Kraton baru tersebut diberi nama Surakarta Hadiningrat. 

Dalam bahasa Jawa kata “Sura” berarti keberanian dan “Karta” berarti makmur. 

Nama tersebut membawa harapan agar Surakarta dapat menjadi tempat yang makmur dan melahirkan para pejuang pemberani bagi bangsa dan negara. 

Pakubuwana II kemudian tinggal di Ndalem Purwodiningratan yang dibangun dengan menggunakan kaidah-kaidah arsitektur tradisional jawa pada umumnya. 

Ndalem Poerwoediningratan



Ndalem Purwodiningratan terdiri dari bangunan Pendopo, Pringgitan dan Ndalem yang merupakan produk arsitektur jawa murni. 

Bangunan Ndalem Purwodiningratan merupakan unsur yang dapat memperkuat citra tradisional pada kawasan sekitar maupun kota. 

Bangunan ini merepresentasikan arsitektur tradisional jaman kerajaan. 

Pada bangunan Ndalem di dalamnya terdapat ‘Gandhok Kiwo, Gandhok Tengah – Gandhok Tengen’ pada Gandhok Tengah juga disebut Krobongan. 

Krobongan merupakan bagian kramat dari Ndalem Purwodiningratan yang difungsikan sebagai tempat pemujaan Dewi Sri. 

Dewi Sri adalah visualisasi Dewi bumi yang menghadirkan segala kebutuhan pangan bagi seluruh makhluk hidup. Dewi tetumbuhan yang dengan spirit RITUAL MAPAG Sri, maka dasar kebutuhan manusia akan terpenuhi dan diberikan melimpah berkat kehadiran Dewi Sri / KERTORAHARJO GEMAH RIPAH LOH JINAWI / BACK TO BASIC. 

Di masa kini 

Ndalem Purwodiningratan di tempati oleh keturunan Pangeran Purwodiningrat / Putera Sri Susuhunan Pakubuwana IV sekaligus yang menandai berdirinya Istana / Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang baru selesai dibangun secara utuh di era Sri Susuhunan Pakubuwana IV. 

Sri Susuhunan Pakubuwana II meninggal pada 20 Desember 1749 akibat sakit keras dan memberikan kuasa penuh terhadap von Hodenorff sebagai ujud penyerahan kedaulatan atas Mataram untuk mengangkat Raja-Raja baru dan membagi-bagi wilayah Mataram. 

Raden Mas Said mendapat wilayah kecil di tepian sungai Pepe dengan Istana kecil Pura Mangkunegaran Solo.

Dan Pangeran Mangkubumi menduduki wilayah Jogjakarta setelah sempat berselisih dengan Raden Mas Said.

Di era Sri Susuhunan Pakubuwana IV. 

Ndalem Sasono Mulyo turut dibangun dan diperuntukkan sebagai kediaman sementara bagi para Putra Raja. 

Ndalem Sasono Mulyo


 
Bangunan Ndalem Sasono Mulyo memiliki kelengkapan bagian-bagian bangunan Jawa, terdiri dari 4 (empat) unsur yang biasa terdapat pada rumah tradisional Jawa, yaitu Pendopo, Pringgitan, Ndalem dan Gandhok. 

Bangunan Pendopo berupa joglo dengan 36 saka. 

Adapun pringgitan bercirikan atap limasan dengan 8 saka. 

Tiang/ saka pada bangunan ini memiliki penampilan khas karena dibuat dengan cara bukan diketam melainkan di’pethel’/ditatal/dikampak. 


Ndalem Sasono Mulyo



Selain kelengkapan bangunan tradisional bangunan dilengkapi pula pavilion dengan tampilan arsitektur kolonial. 

Secara keseluruhan bangunan mewakili produk arsitektur era tradisional Jawa murni Keraton jika ditinjau dari aspek tata ruang, tampak bangunan, elemen bangunan dan bahan bangunan. 

Dalam perkembangannya bangunan menggambarkan proses intervensi unsur arsitektur barat dalam arsitektur tradisional Jawa, diantaranya ornamen pintu utama dan topengan pada kanopi. 

Ndalem Sasono Mulyo dibangun sekitar tahun 1811. 

Sejak semula bangunan ini dibuat, memang difungsikan sebagai gedung serba guna, selain untuk menggelar upacara perkawinan keluarga bangsawan dan tempat untuk persemayaman jenazah keluarga kerajaan, tempat ini juga awalnya lebih kerap dipergunakan sebagai tempat untuk menggelar seluruh kegiatan kebudayaan tradisional Jawa. 

Agar tak tercampur dengan seni budaya Barat. 

Sri Susuhunan Pakubuwana IV membuat bangunan khusus berbentuk Gazebo sebagai wahana berkesenian khusus bagi tamu-tamu Sri Susuhunan Pakubuwana IV yang notabene adalah orang-orang Eropa. 


Ndalem Sasono Mulyo



Jika sebagian besar rumah kuno di kompleks Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dibangun dengan sentuhan gaya arsitektur Jawa murni. 

Namun tidak berlaku bagi rumah yang berlokasi tepat di samping sebelah barat Ndalem Sasono Mulyo ini justru dibangun dengan sentuhan gaya arsitektur berbeda. 

Rumah tersebut tidak bergaya arsitektur Eropa, tetapi juga tidak bergaya arsitektur Jawa. 

Orang-orang menyebutnya dengan istilah rumah indisch [perpaduan sentuhan gaya arsitektur khas Eropa dan nusantara. Rumah itu sebetulnya adalah paviliun dari Ndalem Sasono Mulyo. 

Bila pada umumnya paviliun dibangun lebih sederhana daripada bangunan utama, berbeda halnya dengan rumah yang biasa disebut Ndalem Lodjen Sasono Mulyo ini. 

Rumah yang dibangun pada akhir abad ke-18 itu dibangun “cukup serius” dan bahkan bersaing dengan bangunan utama. 

Ndalem Lodjen Sasono Mulyo merupakan tempat tinggal beberapa pangeran pewaris takhta kerajaan. 

Sebelum diangkat menjadi Raja, Lodjen Sasono Mulyo menjadi tempat tinggal Paku Buwono XI. 

Demikian pula putra tertuanya, Pakubuwana XII yang lahir dan dibesarkan di rumah ini. 

Sedang putra Pakubuwana IV yang naik tahta dan bergelar sebagai Pakubuwana VII juga sempat tinggal di Ndalem Sasono Mulyo. 

Sebagai paviliun, terdapat bangunan kecil yang menghubungkan Ndalem Lodjen Sasono Mulyo dengan Ndalem Sasono Mulyo. 

Dengan begitu, dua bangunan rumah ini sebetulnya tidak bisa dipisahkan. 

Selain tempat tinggal. Berbeda dengan Ndalem Sasono Mulyo yang memiliki banyak fungsi. 

Ndalem Lodjen Sasono Mulyo hanya berfungsi sebagai tempat tinggal. 

Perbedaan menyolok juga terletak pada tata ruangnya. 

Ciri khas bangunan adat Jawa seperti pendapa, pringgitan, ndalem dan gandok yang bisa ditemukan di Ndalem Sasono Mulyo tidak ditemukan di Ndalem Lodjen Sasono Mulyo. 
Sha/AAN/FH.NRt/MKD/JIBI 

Oleh Berbagai Sumber
Model by      ; Sha Mantha
Photo Taken; Wibowo Rahardjo

Comments