Garuda Emas INDONESIA

 

Sha mantha


Kisah Shang-Garuda tertulis dalam kitab Mahabharata dan Purana, yang sangat tersohor di India. 

Sejak abad 1 Masehi

Masyarakat suku Jawa, dalam sehari-harinya menggunakan bahasa Pali sebagai bahasa pengantarnya, sekaligus bahasa yang juga digunakan oleh Sang Buddha Sidharta Gautama.

Sedang Shang-Shang dan Garuda, telah ada sejak zaman purba kuno dan menetap di Pulau Kencono Jawa Dwipa Nusantara.

Burung Garuda Yaksa memiliki dua sayap kanan kiri sepanjang 3 meter.

Sangat berbeda dari manifestasi ujud Burung Garuda saat ini, yang digambarkan meluas di tengah masyarakat Indonesia.

Garuda Berbulu emas / Nyai Garuda sebenarnya adalah perwujudan manusia berjenis kelamin perempuan, yang dikemudian hari menjelma menjadi burung Garuda betina, yang gagah dan berbulu emas.

Nyai Garuda bernama Dewi Sari Hayati.

Keturunan ke-3 dari Ki Shang Shang yang kemudian lebih dikenal dengan Shang-Garuda.

Dewi Sari Hayati bersuamikan Kyai Jatayu.

Makna Kyai sendiri, berasal dari Ra-Kriyan yakni gelar untuk keluarga bangsawan Jawa.

Mereka berdua ingin hidup abadi.

Atas kuasa alam senesta ketika samadi dalam pertapaannya di Merapi, mereka diijinkan semesta tapi Dewi Sari Hayati, harus berujud menjadi seekor burung Garuda

Demikian juga Kyai Jatayu.

Tugas Garuda adalah melindungi Nusantara, tapi tiap harinya Dewi Sari Hayati, mengerami batu-batu chips berbentuk susuk bumi, termasuk batu Hajar Aswad.

Batu Hajar Aswad semula bernama Kyai Gandhik Kesuma, dan dibawa Garuda ke Baitullah Mekah dan setiba di Mekah kemudian berganti nama menjadi Batu Hajar Aswad.

Sepasang Garuda Yaksa ini, semula senantiasa terbang dan menetap di satu sarang yang sama, namun keduanya harus terpisah oleh kematian, saat Kyai Jatayu meninggalkan Dewi Sari Hayati seorang diri.

Sebab Kyai Jatayu sudah Manunggaling Kawula Gusti, dan kembali ke semesta dan bersemayam di Arasy langit ke-7.

Pada zaman peradaban manusia modern.

Atas ijin semesta.

Ratu Shima, pemimpin Negara Kalingga, yang beribukota di ujung paling utara Jawa, meneruskan tampuk pemerintahan sepeninggal suaminya dan memerintah Nusantara pada tahun 700 Masehi dengan panji-panji hitam Jawa Dhipa.

Wanita bergelar "Ratu Adil" tersebut, adalah pencetus hukum Undang-Undang Keadilan Yang Beradab, sekaligus pencetus Lambang Negara Berbentuk Burung Garuda-Dewi Sari Hayati / Nyai Garuda di masa penyebaran Buddha-Mahayana di Pulau Jawa.

Ratu Shima pula yang mencetuskan sistem Subak yang berhasil meningkatkan swasembada pangan dalam negeri, selain meneruskan sistem perdagangan bebas, yang dirintis oleh suaminya, dan mengembangkan misi perdagangan dunia, di Jalur Sutera.



Bhinneka Tunggal Eka


Hingga 1293 hingga 1527 M 

Seiring perubahan pandangan, di Negara Majapahit.

Mitologi Garuda diubah sesuai pandangan Hindu dengan bahasa Sansekerta.

Garuda kemudian digambarkan sebagai seorang Raja burung, yang berasal dari keturunan Kasyapa dan Winata, salah seorang putri Daka. 

Kata Garuda kembali diperkenalkan dalam mitologi Hindu, sebagai burung dan kendaraan Dewa Wisnu.

Sehingga Garuda Wishnu Kencana lebih dipopulerkan di era Negara Majapahit Hindu, dengan Kyai Jatayu sebagai lambang dari Negara Kesatuan Nusantara yang sangat Bhinneka Tunggal Eka-Meski berbeda-beda tetap satu.

Setelah kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945.

Berselang 5 tahun kemudian pada tanggal 10 Januari 1950.

Dibentuklah Panitia Teknis dengan nama Panitia Lencana Negara di bawah koordinator Menteri Negara Zonder, dengan susunan panitia teknis Muhammad Yamin sebagai ketua.

Sedang Ki Hajar Dewantoro, MA Pellaupessy, Mohammad Natsir, dan RM. Ngabehi Poerbatjaraka sebagai anggota.

Panitia ini menyeleksi rencana lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah.

Untuk melaksanakan Sidang Kabinet tersebut Menteri Priyono melaksanakan sayembara.

Terpilihlah dua rancangan lambang negara terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya M. Yamin.

Pada proses selanjutnya yang diterima pemerintah dan DPR adalah rancangan Sultan Hamid II. 

Sementara itu, karya M. Yamin ditolak lantaran menyertakan sinar-sinar matahari yang dianggap menampakkan pengaruh Jepang.

Maksud dari M. Yamin tak lain adalah menyertakan simbol panji-panji hitam Negara Majapahit dengan lambang Surya Nuswantara / Matahari Nusantara.

Sebagaimana Kyai Jatayu / Garuda Jantan Asli yang berbulu kuning berkilauan dan bersinar terang seperti sinar matahari.

Simbol Matahari Nusantara, adalah lambang yang kerap ditemukan di reruntuhan bangunan yang berasal dari masa Majapahit.

Lambang ini mengambil bentuk Matahari bersudut delapan dengan bagian lingkaran di tengah menampilkan dewa-dewa Hindu.

Karena begitu populernya lambang Matahari Nusantara pada masa Majapahit, para ahli arkeologi menduga bahwa lambang tersebut berfungsi sebagai lambang negara Majapahit.

Sehingga mengaburkan fakta unik, bahwa sejak Negara Kedaulatan Mataram Kuno hingga Negara Majapahit.

Burung Garuda Yaksa, Nyai Garuda Dewi Sari Hayati dan Kyai Jatayu, silih berganti menjadi lambang dari Negara Kesatuan Nusantara, hingga terbentuknya Negara baru bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Lambang Negara Burung garuda, sejak lampau senantiasa menghadap ke sisi kanan.

Dan menjadi lambang dari kebajikan rakyat Indonesia yang berbudi pekerti luhur, dan berperilaku baik. 

Yen wani aja wedi wedi, yen wedi aja wani wani.

Jika berani tidak perlu gentar, jika takut tidak usah melawan.

Selain menghadap ke kanan, burung garuda lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia dimasa kini, telah kembali pada evolusi alamnya.

Sebagaimana Garuda Yaksa yang sejati, kini hanya tersisa Nyai Garuda / Dewi Sari Hayati, dengan ciri khasnya yang berbulu emas sekaligus lambang dari kemakmuran-kekayaan-kemegahan dan kedigdayaan. ( Sha )

Oleh Berbagai Sumber




Comments