Washington Distric Columbia |
Mercusuar demokrasi mencatat sejarah hitam
atas massa loyalis Trump saat
menyerbu
Capitol Hill yang menghambat pengukuhan kemenangan Biden.
Seorang polisi dan empat massa aksi tewas
dalam kejadian tersebut yang baru-baru ini terjadi diawal perjalanan politik
Joe Biden dan Kamala Haris.
Keduanya dilantik sebagai Presiden dan
Wakil Presiden Amerika Serikat pada Rabu (20/1/2021) di gedung parlemen The
Capitol, Washington DC.
Biden langsung menandatangani 15 perintah eksekutif hanya beberapa jam setelah dilantik.
Kebijakan perdananya adalah memperkuat respons pemerintah terhadap pandemi COVID-19.
Kebijakan lain di
antaranya adalah membatalkan sejumlah kebijakan Trump terkait perubahan iklim
dan imigrasi.
Akan tetapi, warisan negara yang terpecah buatanTrump di kalangan akar rumput
tak serta merta hilang di era Joe Biden di masa kini.
Kebijakan-kebijakan Trump yang bertendensi “antiimigran dan proteksionisme.”
Digelayuti pesimisme jika masa depan tak
secerah yang dipikirkan.
Meski Biden melakukan perombakan dengan mengeluarkan
orang-orang dari Voice of America, yang telah diprotes karena VOA digunakan sebagai
media propaganda Trump.
Ada dua point penting yang kini menjadi
perhatian publik di dunia di tubuh pemerintahan Biden saat ini.
Pertama
Saat Pete Buttigieg memperkenalkan
suaminya, Chasten, yang duduk beberapa meter di belakang dirinya, Kamis (21/1/2001).
Sebagai catatan, dalam sejarah Amerika
Serikat, Buttigieg adalah anggota kabinet dengan status gay (LGBTQ) pertama,
yang juga mengonfirmasinya di depan Senat.
Diketahui, seperti dilansir AFP, Direktur Intelijen saat kepresidenan Donald Trump, Richard Grenell juga dikenal membuka diri sebagai seorang gay.
Namun, selama menduduki jabatannya,
dia tak pernah mengonfirmasi hal tersebut di depan senat Amerika.
Disisi lain, Trump mencetak kebijakan
ekonomi atas rendahnya tingkat pengangguran di penjuru Amerika Serikat sebelum
pandemi, sehingga memikat pemilih hingga berhasil memenangkan lebih banyak
suara di lingkungan orang Latin di wilayah Texas dan Florida.
Menurut laporan
Sebulan sebelum pilpres, diperkirakan delapan
dari sepuluh pemilh terdaftar di kedua kubu mengatakan perbedaan di antara
mereka terletak pada nilai-nilai inti Amerika.
Lalu, sembilan dari sepuluh pendukung
kedua kubu khawatir jika kemenangan pihak lawan akan membawa
“kerugian abadi” bagi Amerika.
Kegagalan Trump menciptakan kestabilitasan
keamanan nasional terjadi setelah Ia merangkul kelompok-kelompok sayap kanan ke
dalam koalisinya yang notabene aksi-aksi kelompok sayap kanan tersebut seringkali
membahayakan nyawa.
Hingga berujung pada berbagai kejadian meresahkan.
Kasus pertama terjadi pada aksi di
Charlottesville, yang mengakibatkan tewasnya seorang warga bernama Heather
Hayer dalam kejadian ini.
Kelompok-kelompok ini juga mengirimkan 16
bom pipa kepada tokoh-tokoh Partai Demokrat dan beberapa media.
Daftar ini makin panjang saat terjadi
penembakan massal di sebuah sinagog di Pittsburgh hingga serangan ke Capitol
Hill.
Menurut laporan dari Centre for Strategic
and International Studies (CSIS) menunjukkan, sepanjang tahun 2020 silam
telah terjadi peningkatan sebesar 67 persen serangan dari kelompok sayap kanan,
supremasi kulit putih.
Kondisi ini melebihi aksi kelompok kiri
dan anarkis radikal yang hanya terjadi sebanyak 20 persen.
Sayap Kanan menggunakan kendaraan, bahan
peledak dan senjata api sebagai senjata utamanya dan menargetkan demonstran
maupun individu dari kelompok lain karena alasan ras, etnis, agama dan pilihan
politik.
Sayap kanan mungkin tidak melakukan
tindakan serta hal-hal yang bersifat rasisme yang belakangan terjadi, namun
semua mata tak dapat dipungkiri kini tertuju kearah ini.
Apakah sebatas dampak ketidakpuasan
sekelompok orang atas dimulainya babak pemerintahan baru saat ini ataukah hanya
kekacaun semu yang tak kunjung menemukan nadir akhir, akan rasa memiliki.
Semua orang bermimpi sebuah kehidupan yang
lebih baik dan memandang Amerika sebagai tempat untuk meletakkan mimpi
tersebut.
Meski kenyataannya tak begitu ramah dengan
para pendatang yang terlanjur menaruh banyak harapan bahkan menyerahkan hidup
dan matinya di negeri ini.
Kedua Rasisme
Kelompok advokat menyambut rencana
Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden memperkenalkan rancangan undang-undang
(RUU) untuk memberi status kewarganegaraan kepada 11 juta migran ilegal.
RUU itu dinilai paling progresif sejak
reformasi imigrasi yang gagal pada era pemerintahan Barack Obama tahun 2013.
Gelombang kekerasan yang meningkat
terhadap orang Asia menuntun banyak orang ke arah motif rasial setelah berita
tentang pembunuhan di wilayah Atlanta tersiar ke penjuru negeri.
Upaya terbaru untuk mereformasi sistem
berada di bawah pemerintahan Obama pada 2013.
RUU yang diusulkan Biden akan mengakui AS
sebagai negara imigran.
RUU bakal mengubah istilah hukum
"asing" menjadi "non-warga negara".
RUU tersebut akan memungkinkan orang tak
berdokumen yang membayar pajak dan lulus pemeriksaan latar belakang untuk
mengajukan status hukum sementara serta membuat permohonan kepemilikan Green
Card setelah lima tahun.
RUU juga memungkinkan kelompok
"Dreamers", yakni anak-anak yang datang ke AS tanpa dokumen, serta
pemegang Temporary Protected Status (Status Dilindungi Sementara) dan pekerja
pertanian imigran untuk mengajukan permohonan kartu hijau tanpa menunggu lima
tahun.
Setelah tiga tahun tambahan, semua
pemegang Green Card yang lulus pemeriksaan latar belakang, berbicara bahasa
Inggris dan menunjukkan pengetahuan kewarganegaraan AS dapat mengajukan
permohonan kewarganegaraan.
Jalur ini berlaku untuk pelamar yang sudah
berada di negara ini per-1 Januari 2021.
RUU ini akan membantu proses penyatuan
kembali keluarga migran yang harus terpisah akibat aturan saat ini.
Jika disahkan
RUU tersebut akan diberi nama the US Citizenship
Act of 2021.
Namun sejumlah advokat memperingatkan
terlalu dini untuk mengetahui apakah Biden dapat mengumpulkan 60 suara yang
diperlukan guna meloloskan undang-undang di Senat AS.
Saat ini komposisi Senat AS terbagi
seimbang antara Partai Republik dan Demokrat.
Kasus terbaru, dua warga negara Indonesia
(WNI) di Philadelphia, AS dikabarkan menjadi korban pengeroyokan oleh lima
orang tak dikenal.
Hal ini diketahui dari sebuah rilis yang
dikeluarkan oleh komunitas masyarakat Indonesia di Philadelphia.
Mereka menuturkan, dua WNI telah dikeroyok
di sebuah stasiun saat sedang menunggu keberangkatan kereta pada Minggu
(21/3/2021) malam waktu setempat.
Tindakan kekerasan tersebut diduga sebagai
kekerasan berbasis rasisme. Kedua remaja tersebut sebelumnya melaporkan mereka
sudah ditarget oleh kelompok pengeroyok karena motif ras.
Lima hari sebelumnya, juga terjadi
penembakan dan pembunuhan oleh warga Amerika terhadap delapan orang di area spa
di Atlanta pada Selasa (16/3/2021) malam waktu setempat.
Enam di antaranya adalah wanita
Asia-Amerika.
Dalam beberapa minggu terakhir juga muncul
beberapa laporkan kematian orang Asia di AS. Salah satunya pembunuhan seorang
imigran Thailand berusia 87 tahun, Vichar Ratanapakdee, serta penyerangan
brutal terhadap seorang pria berusia 67 tahun di San Francisco yang tidak
disebutkan namanya secara publik.
Selanjutnya ada pemukulan terhadap seorang
pria bernama Denny Kim berusia 27 tahun di Koreatown Los Angeles.
Denny mengatakan para penyerangnya
berteriak, "Kamu mengidap Virus China, kembali ke China".
Pada tahun 2020, menurut data New York
City Police Department (NYPD), ada 29 serangan bermotivasi rasial terhadap
orang Asia-Amerika di New York City. Sebanyak 24 kasus di antaranya digambarkan
memiliki "motivasi virus corona."
Stop AAPI Hate, organisasi yang melacak
insiden kebencian dan diskriminasi terhadap orang Asia-Amerika dan Kepulauan
Pasifik, mencatat setidaknya ada 500 insiden dalam dua bulan pertama tahun ini.
J
ika dilihat setahun terakhir, tentu
angkanya lebih besar, mencapai 3.795 keluhan.
Mayoritas laporan mencatat 68% merupakan
pelecehan verbal. Sementara 11% melibatkan serangan fisik.
Akankah Amerika akan mengubah wajah
individunya menjadi lebih ramah? Bahkan terhadap tamu undangan dan semua orang yang
terlanjur menganggap bahwa negara ini memberi tempat untuk semua bangsa, ras, status gender hingga superstar?
Kekerasan berpotensi disetiap lini
kehidupan, namun polisi dunia berkewajiban memberikan rasa aman untuk semua
orang tanpa sekat dan batasan.
(Sha/MS/ kid/chrs/TF/FAF)
Dari Berbagai Sumber
Comments
Post a Comment