Collateral Nusantara-Wujudkan Zaman Baru Bag. V

 

Sha Mantha



Upaya Bank Dunia Menguasai Collateral Nusantara

Tahun 1997

Gejolak yang dimulai dari resesi ekonomi Tiongkok terjadi, usai Inggris dan Elite barat, mencabut seluruh assetnya dari Hongkong, setelah berakhirnya perpanjang sewa pulau Kowloon yang sebelumnya telah disepakati masa jatuh tempo sewa selama 99 tahun.

Sehingga secara bersamaan menjungkit keluar garis ekonomi negara-negara di Asia yang seketika terlempar jatuh terperosok.

Ditambah keinginan 7 orang pemegang amanah Ir. Soekarno ditahun 1995 yang mendesak pengambilan hak Collateral Nusantara.

Namun hanya diberikan kesempatan Collateral Nusantara, sebatas untuk jaminan mencetak  uang pecahan Rp. 100.000 ( Seratus ribu rupiah) di tahun 1997 dan berbahan plastik.

AS dan sekutunya, kemudian melancarkan konspirasi untuk merusak stabilitas Ekonomi Internasional melalui Bank Dunia sebagai pijakannya.

Dengan cara menolak pencairan dana Collateral Nusantara yang tersimpan di Bank Dunia.

Tak cukup sampai disitu, issue dan propaganda Bank Dunia, kemudian dihembuskan melalui CIA, dengan menggunakan agama, sebagai dalih kekhawatiran berdirinya suatu kekuatan baru, dan menahan Collateral milik Nusantara sebatas digunakan sebagai jaminan cetak uang.

Pemerintah RI saat itu hanya diijinkan untuk mencetak uang sebesar Rp. 20.000 triliun ( dua puluh ribu triliun rupiah) dengan jaminan lima Coleteral.

Untuk kepentingan para Bankir yang kadung hidup nyaman korup.

Jaminan lima Coleteral Nusantara, diharap dapat berbalik kembali pada kepentingan dan keuntungan sepihak, melalui perjanjian IMF dan tuntutan lain Bank Dunia agar Soeharto kembali berhutang.

Indonesia sebagai macan Asia

Di bawah kendali Soeharto yang mulai sadar atas dikte tersebut, sebelumnya telah behasil membenahi stabilitas ekonomi Indonesia dan menancapkan kukunya melalui ekspor komoditas pangan dunia.

Soeharto tak lagi merasa butuh terhadap hutang luar negeri, setelah disadarinya  Indonesia telah sangat kaya dengan sumber daya alamnya yang menunjang hampir seluruh kebutuhan dunia.

Dengan sadar, Soeharto tegas menolak tawaran hutang tambahan luar negeri, yang Ia rasa memang tidak diperlukan.

Akan tetapi
Penolakan Soeharto sama dengan perang,namun peperangan membutuhkan ransum, senjata serta biaya yang tidak sedikit.

Skenario Bank Duniapun dimulai melalui beberapa langkah mematikan.

Maka menyewa CIA adalah jalan keluar akan biaya peperangan paling murah, dengan cara menyusupkannya ke tubuh pemerintahan Indonesia, masyarakat luas Indonesia, agar rakyat Indonesia sendiri yang menggulingkannya.

Agar hilang kepercayaan masyarakat dan pasar melalui kondisi Presiden Soeharto yang buruk, maka suksesi dapat mengalami ketidakpastian, dengan begitu; Terbuka jalan bagi investor menutup mata terhadap kebutuhan financial Indonesia.

Belum lagi digagalkannya Paket Solusi IMF, sebagai organisasi dana moneter internasional yang sempat memberikan sejumlah solusi untuk membantu Indonesia dalam menanggulangi krisis moneter dengan menawarkan paket reformasi keuangan.

Namun alih-alih solusi tersebut bukannya membawa dampak terhadap penyelamatan ekonomi Indonesia.

Tapi yang terjadi, paket reformasi keuangan yang dianjurkan IMF tersebut, justru membuat nasabah memutuskan untuk menarik dana besar-besaran.

Maka tak ayal
Pada Agustus hingga September 1997

Nilai mata uang rupiah jatuh terperosok di nilai terendah.

Hilangnya Kepercayaan Masyarakat Terhadap Orde Baru Muncul Tatkala ada pembukaan ekonomi, yang mengintegrasikan ekonomi Indonesia ke dalam alam kapitalisme global.

Proses inilah yang memberi ruang bagi tumbuhnya kapitalis domestik.

Sayangnya, alih-alih tumbuh karena semangat kewirausahaan yang kuat, mereka tumbuh karena ada sokongan politik dari penguasa Orde baru saat itu.

Berkat berbagai fasilitas dari pemerintah kala itu, seperti seperti lisensi, kredit,
subsidi, bahkan perlindungan, pelan-pelan bisnis para kapitalis domestik itu mulai menggurita.

Sebagian besar kapitalis domestik itu bergerak di sektor ekstraktif, terutama
pertambangan dan kehutanan.

Misalnya di Tahun 1970-an, booming minyak. Lalu, ditahun 1980-an,  booming kayu.

Alih-alih memberi pijakan bagi penguatan
ekonomi Indonesia, misalnya mendorong industrialisasi, dua momentum tersebut justru menguatkan oligarki.

Berkah minyak dan kayu, yang mengalir ke pundi-pundi negara, justru banyak
dinikmati oleh segelintir pengusaha yang mengumpul di sekitar Soeharto.

Kondisi ini menjadi momentum bangkitnya oligarki Indonesia.

Mobilisasi rakyat dan supremasi hukum, mengalami pelemahan, dua hal yang mestinya menghalangi pertumbuhan oligarki saat itu.

Pasca 1965, gerakan rakyat ditindas.

Politik mobilisasi dimatikan lewat depolitisasi dan deorganisasi.

Sementara hukum tak pernah lebih tinggi dari penguasa Orde baru dan elite politik di sekitar Soeharto.

Setahun kemudian di Tahun 1998

Nilai mata uang rupiah yang semula berada di angka Rp 2.380 ( dua ribu tiga ratus delapan puluh rupiah) per- 1$ ( satu dolar ) dalam sekejap terjun bebas hingga 600%.

Puncaknya terjadi pada bulan Juli 1998

Dimana nilai mata uang rupiah, benar-benar jatuh terpuruk, di titik tukar rupiah ke Dollar $ yang mencapai nominal Rp 16.650 ( enam belas ribu enam ratus lima puluh rupiah).

Meski pada 31 Desember 1998 nilai rupiah mulai bangkit dan dihargai Rp 8.000 ( Delapan ribu rupiah) per- 1$ ( Satu dolar ), namun hal ini tak banyak memberi pengaruh sebab ekonomi Indonesia sudah kadung terpuruk.

Keadaan ini pula dipicu atas membengkaknya utang luar negeri.

Selain anjloknya nilai mata uang rupiah pada 1997 sampai 1998, krisis moneter tersebut juga dipicu oleh membengkaknya angka utang luar negeri oleh swasta.

Yang terjadi pada Maret 1998, sebesar 72,5 miliar dolar AS dari 138 miliar dolar AS merupakan utang swasta yang dua dari tiga utang tersebut merupakan utang jangka pendek yang jatuh tempo masa tenggat pembayaran di tahun tersebut.

Sementara cadangan devisa senilai 14.44 miliar dolar AS yang dimiliki Indonesia jauh dari kata cukup untuk membayar utang, apalagi beserta bunganya.

Sekaligus menjadi salah satu penyebab tekanan berat perekonomian Indonesia. 

Kondisi ini makin memperparah krisis ekonomi 1998, sebab membuat bank-bank memberikan pinjaman secara terbatas, di sisi lain Bank Indonesia juga harus menggelontorkan banyak dan krisis moneter menukik tajam ke bawah dan jatuh sekarat kian parah.

Oligarki Pasca Reformasi Tahun 1998 di masa kini.

Sebagian besar oligarki Indonesia hari ini masih warisan Orde Baru.

Reformasi
tahun 1998 tak berhasil menjinakkan mereka untuk tunduk pada supremasi hukum.

Jikapun muncul wajah baru, hal itu lantaran adanya model bisnis baru yang berkembang, misal bisnis yang terkait dengan teknologi informasi.

Akan tetapi
Pijakan oligarki Indonesia dari zaman Orba hingga sekarang tak banyak
berubah: ekstraktivisme (ekstraksi sumber daya alam, lalu diekspor dalam bentuk mentah ke pasar dunia).

Dan hampir separuh dari 50 orang terkaya Indonesia.

Sumber kekayaannya hanya berasal dari sawit, batubara dan kayu/kertas.

Sehingga dapat ditarik kesimpulkan, oligarki Indonesia adalah oligarki ekstraktif.

Sektor ekstraktif ini tak menciptakan nilai-tambah.

Agar bisa menghasilkan profit yang melimpah, mereka membutuhkan mekanisme-mekanisme politik untuk menurunkan biaya eksplorasi dan eksploitasi, mengurangi beban pajak, hingga mendapatkan kuota ekspor yang lebih banyak.

Karena itu, konglomerat di sektor ekstraktif ini selalu membutuhkan politik (kapitalisme kroni).

Untuk kaya raya, mereka membutuhkan politik untuk meningkatkan dan mempertahankan kekayaannya.

Faktor yang Menguatkan Oligarki

Ada beragam faktor yang menguatkan oligarki dalam menguasai politik Indonesia.

Pertama, politik yang makin transaksional dan bergantung pada uang.

Dengan kekuatan kekayaannya, oligarki bisa membeli partai dan politisi, menentukan kandidat dan agenda politiknya, hingga membeli suara pemilih.

Kedua, melemahnya kekuatan mobilisasi rakyat dan absennya kekuatan politik
progressif, sehingga tidak ada kekuatan yang menentang dominasi dan agenda
politik oligarki.

Ketiga, absennya negara hukum.

Hukum harusnya menjadi alat untuk
menciptakan keteraturan berbasis keadilan. Dan karena itu, supremasi hukumseyogianya bisa menjinakkan kekuasan dan orang-orang kuat di dalam
masyarakat.

Aturannya bisa menghalangi berbagai bentuk penyimpangan dan pelanggaran, seperti korupsi, maladministrasi, dan pelanggaran HAM.

Dengan menggugat ketimpangan dan ketidakadilan ekonomi, seperti occupy wall street yang di lakukan oleh warga AS tahun 2011 silam, oligarki di Indonesia masih sanggup menemui jalan keluar dan kebebasan.

Apabila disertakan pula;
HAK Atas AHLI WARIS dari Raja-Raja Nusantara, atas Collateral Nusantara, yang masih belum diberikan sepeserpun hingga saat ini.

Dengan hal terburuk saat Collateral Nusantara itu kembali, sudah tentu akan berdampak terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang bisa jadi dan bahkan tidak akan pernah ada lagi di Bumi Pertiwi.

Hidup terkadang terlihat tidak adil, hanya cukup memulai, meski terlihat tidak mungkin dan kemudian berakhir. Sha99%

Tamat











Comments